Perbuatan-Perbuatan Quraisy Yang Keji | Sejarah Hidup Muhammad - Pada bagian ketujuh Buku Sejarah Hidup Muhammad Karya Muhammad Husain Haekal ada pembahasan tentang Perbuatan-Perbuatan Quraisy Yang Keji.
Pada bagian ketujuh buku ini topik pembahasan mencakup:
- Umar mengumumkan keislamannya dan Muslimin beribadat di Ka’bah
- Piagam pemboikotan
- Daya-upaya Quraisy memerangi Muhammad
- Alat propaganda bahasa yang mempesonakan
- Jabr orang Nasrani
- Terpengaruhnya Quraisy pada ajakan yang baru
- At-Tufail ad-Dausi
- Delegasi Nasrani
- Kekuatiran-kekuatiran Quraisy: persaingan, kehilangan kedudukan di Mekah, hari kebangkitan.
Perbuatan-Perbuatan Quraisy Yang Keji
ISLAMNYA Umar telah membawa kelemahan ke dalam tubuh Quraisy karena ia masuk agama ini dengan semangat yang sama seperti ketika ia menentangnya dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyi-sembunyi, malah terang-terangan diumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap di celah-celah pegunungan Mekah, mau melakukan ibadat jauh dari gangguan Quraisy.
Bahkan ia terus melawan Quraisy, sampai nanti dia beserta Muslimin itu
dapat melakukan ibadat dalam Ka’bah. Disini pihak Quraisy menyadari, bahwa
penderitaan yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, takkan mengubah
kehendak orang menerima agama Allah, untuk kemudian berlindung kepada Umar dan
Hamzah, atau ke Abisinia atau kepada siapa saja yang mampu melindungi
mereka.
Quraisy lalu membuat rencana lagi mengatur langkah berikutnya.
Setelah sepakat, mereka membuat ketentuan tertulis dengan persetujuan bersama
mengadakan pemboikotan total terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l-Muttalib: untuk
tidak saling kawin-mengawinkan, tidak saling berjual-beli apapun. Piagam
persetujuan ini kemudian digantungkan di dalam Ka’bah sebagai suatu pengukuhan
dan registrasi bagi Ka’bah.
Menurut perkiraan mereka, politik yang negatif, politik membiarkan orang kelaparan dan melakukan pemboikotan begini akan memberi hasil yang lebih efektif daripada politik kekerasan dan penyiksaan, sekalipun kekerasan dan penyiksaan itu tidak mereka hentikan.
Blokade-blokade yang
dilakukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan terhadap Banu Hasyim dan Banu Abd’l
Muttalib sudah berjalan selama dua atau tiga tahun, dengan harapan sementara itu
Muhammadpun akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dengan demikian dia
dan ajarannya itu tidak lagi berbahaya.
Akan tetapi ternyata Muhammad
sendiri malah makin teguh berpegang pada tuntunan Allah, juga keluarganya, dan
mereka yang sudah berimanpun makin gigih mempertahankannya dan mempertahankan
agama Allah.
Menyebarkan seruan Islam sampai keluar perbatasan Mekah itu pun tak dapat pula dihalang-halangi. Maka tersiarlah dakwah itu ke tengah-tengah masyarakat Arab dan kabilah-kabilah, sehingga membuat agama yang baru ini, yang tadinya hanya terkurung ditengah-tengah lingkaran gunung-gunung Mekah, kini berkumandang gemanya ke seluruh jazirah.
Orang-orang Quraisy makin tekun
memikirkan bagaimana caranya memerangi orang yang sudah melanggar adat
kebiasaannya dan menista dewa-dewanya itu, bagaimana caranya menghentikan
tersiarnya ajarannya itu di kalangan kabilah-kabilah Arab, kabilah-kabilah yang
tak dapat hidup tanpa Mekah dan juga Mekah tak dapat hidup tanpa mereka dalam
perdagangan, dalam kegiatan impor dan ekspor dari dan ke Ibukota
itu.
Quraisy mencurahkan semua kegiatannya dalam memerangi orang yang
dianggapnya sudah melanggar kebiasaan mereka, melanggar kepercayaan mereka dan
kepercayaan leluhur mereka itu. Dengan tabah dan secara terus-menerus selama
bertahun-tahun, apa yang telah mereka lakukan untuk menghancurkan ajaran baru
ini, sungguh di luar yang dapat kita bayangkan.
Muhammad diancam, keluarga dan
ninik-mamaknya, diancam. Ia diejek, ajarannya diejek. Ia diperolok, dan orang
yang jadi pengikutnya juga diperolok. Penyair-penyair mereka didatangkan supaya
mengejeknya, supaya memburuk-burukkannya. Ia diganggu, dan orang yang jadi
pengikutnya dinista dan disiksa. Ia mau disuap, ditawari kerajaan, ditawari
segala yang menjadi kedambaan orang. Kawan-kawan seperjuangannya diusir dari
tanah air, perdagangan dan pintu rejeki mereka dibekukan. Ia dan
sahabat-sahabatnya diancam dengan perang serta segala akibatnya yang
mengerikan.
Akhirnya blokade, akan dibiarkan mati kelaparan jika
mungkin.
Tetapi, sungguhpun begitu, Muhammad tetap tabah. Dengan cara
yang amat baik tetap ia mengajak orang menerima kebenaran, yang hanya karena itu
ia diutus Tuhan kepada umat manusia, sebagai pembawa berita gembira, dan
peringatan. Bukankah sudah tiba waktunya Quraisy meletakkan senjatanya, dan
mempercayai Al-Amin, orang yang dikenalnya sejak masa anak-anak, sejak masa muda
belia, sebagai orang yang jujur, tak pernah berdusta!? Ataukah mereka sudah
mencari alat lain selain senjata perang seperti disebutkan, dan lalu terbayang
oleh mereka, bahwa dengan demikian mereka akan menang perang, lalu kedudukan
berhala-berhala mereka akan dapat dipertahankan sebagai pusat ketuhanan mereka
seperti yang mereka duga, dan Mekahpun akan dapat dipertahankan sebagai museum
berhala-berhala dan tempat yang disucikan karena berhala-berhala itu akan tetap
berada di Mekah?!
Tidak! Belum tiba saatnya bagi Quraisy akan tunduk dan
menyerah. Mereka sekarang sedang dalam puncak kekuatirannya bila seruan Muhammad
ini nanti akan tersebar di kalangan kabilah-kabilah Arab sesudah terlebih dulu
tersebar di Mekah.
Tinggal satu senjata lagi pada mereka sekarang yang
sejak semula sudah menjadi pegangan dan kekuatan mereka, yaitu senjata
propaganda: propaganda dengan segala implikasinya berupa perdebatan,
argumentasi-argumentasi, caci maki, penyebaran desas-desus serta sifat
merendahkan argumen lawan dengan menganggap alasan-alasannya sendiri yang lebih
baik. Propaganda melawan akidah dan pembawa akidah disertai tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan kepadanya. Propaganda yang tidak hanya terbatas pada Mekah saja -
sebenarnya buat Mekah ini sudah tidak lagi diperlukan dibandingkan dengan daerah
pedalaman lain serta kabilah-kabilahnya, semenanjung jazirah serta semua
penduduknya.
Dengan mengadakan ancaman bujukan, teror dan penyiksaan, propaganda
tidak diperlukan lagi buat Mekah. Tapi buat ribuan orang yang datang ke Mekah
tiap tahun masih tetap diperlukan. Mereka datang dalam urusan perdagangan dan
berziarah. Mereka berkumpul di pasar-pasar ‘Ukaz, Majanna dan Dhul-Majaz, yang
kemudian berziarah sambil menyembelih kurban, mengharapkan berkah dan
ampunan.
Oleh karena itu, sejak memuncaknya permusuhan antara Quraisy
dengan Muhammad terpikir oleh mereka akan menyusun suatu alat propaganda anti
Muhammad. Lebih gigih lagi mereka memikirkan hal ini sesudah orang-orang yang
berziarah itu diajaknya supaya beribadat hanya kepada Allah yang Esa dan tidak
bersekutu. Hal ini sudah terpikir olehnya sejak tahun-tahun pertama dari
kerasulannya itu.
Pada mulanya, sejak masa kerasulannya, ia adalah seorang nabi,
sampai datangnya wahyu menyuruh ia memperingatkan keluarga-keluarganya yang
dekat. Setelah ia memperingatkan keluarga-keluarga Quraisy dan ada di antara
mereka yang menerima Islam, di samping banyak juga yang masih kepala batu dan
mau berpikir-pikir dulu, ia masih berkewajiban mengajak bangsanya sendiri,
seluruh masyarakat Arab, untuk kemudian meneruskan kewajibannya itu mengajak
seluruh umat manusia.
Setelah terpikir akan mengajak orang yang datang
berziarah dari berbagai macam kabilah Arab itu beribadat kepada Allah, beberapa
orang dari kalangan Quraisy datang berunding dan mengadakan pertemuan di rumah
Walid bin’l-Mughira: Maksudnya supaya dalam menghadapi persoalan Muhammad itu
satu sama lain mereka tidak bertentangan, dan tidak saling mendustakan mengenai
apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang Arab yang datang musim ziarah
itu. Ada yang mengusulkan, supaya dikatakan saja, bahwa Muhammad itu dukun.
Tetapi al-Walid menolak pendapat ini, sebab apa yang dikatakan Muhammad bukan
kumat-kamit seorang dukun. Yang lain mengusulkan lagi, bahwa Muhammad itu orang
gila. Walidpun menolak pendapat ini, sebab gejala atas tuduhan demikian tidak
tampak. Ada lagi yang menyarankan supaya Muhammad dikatakan sebagai tukang
sihir. Juga di sini Walid menolak, sebab Muhammad tidak mengerjakan rahasia juru
tenung atau sesuatu pekerjaan tukang-tukang sihir.
Sesudah terjadi
diskusi akhirnya Walid mengusulkan supaya kepada peziarah-peziarah orang-orang
Arab itu dikatakan bahwa dia (Muhammad) seorang juru penerang yang
mempesonakan,1 apa yang dikatakannya merupakan pesona yang akan memecah-belah orang
dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isteri dan keluarganya. Dan apa
yang dituduhkan itu pada orang-orang Arab pendatang itu merupakan bukti, sebab
penduduk Mekah sudah ditimpa perpecahan dan permusuhan. Padahal sebelum itu
penduduk Mekah merupakan suatu contoh solidaritas dan ikatan yang paling
kuat
Pihak Quraisy pada musim ziarah itu segera menyongsong orang-orang
yang datang berziarah dengan memperingatkan mereka jangan mendengarkan orang itu
dan pesona bahasanya. Jangan sampai mereka itu mengalami bencana seperti yang
dialami penduduk Mekah dan menjadi api fitnah yang akan membakar seluruh jazirah
Arab.
Akan tetapi propaganda begini tidak dapat berdiri sendiri, juga
tidak dapat melawan penerangan yang mempesonakan yang sudah dipercayai orang
itu. Kalau memanglah kebenaran yang dibawa oleh penerangan yang mempesonakan
itu, apa salahnya orang mempercayainya? Adakah bila sewaktu-waktu orang mengakui
kelemahannya dan menyatakan perlawanannya merupakan suatu propaganda yang ampuh?
Di samping propaganda itu Quraisy harus punya propaganda lain lagi. Untuk propaganda itu Quraisy akan mendapatkannya pada Nadzr b. Harith. Manusia Nadzr ini adalah setannya Quraisy, orang yang pernah pergi ke Hira dan mempelajari cerita raja-raja Persia, peraturan-peraturan agamanya, ajaran-ajarannya tentang kebaikan dan kejahatan serta tentang asal-usul alam semesta. Setiap dalam suatu pertemuan Muhammad mengajak orang kepada Allah, serta memperingatkan mereka tentang akibat-akibat yang telah menimpa bangsa-bangsa sebelumnya yang menentang peribadatan kepada Allah, ia lalu datang menggantikan tempat Muhammad dalam pertemuan itu.
Maka berceritalah ia kepada Quraisy tentang sejarah dan agamanya,
lalu katanya: Dengan cara apa Muhammad membawakan ceritanya lebih baik daripada
aku? Bukankah Muhammad membacakan cerita-cerita orang dahulu seperti yang
kubacakan juga? Quraisypun lalu menyebarkan kisah-kisah Nadzr itu dengan jalan
bercerita lagi sebagai propaganda atas peringatan dan ajakan Muhammad kepada
mereka itu.
[
Dalam pada itu di Marwa Muhammad sering duduk-duduk dengan
seorang budak Nasrani yang konon bernama Jabr. Orang-orang Quraisy menuduh,
bahwa sebagian besar apa yang dibawa Muhammad itu, Jabr inilah yang mengajarnya.
Apabila ada orang yang mau meninggalkan kepercayaan nenek-moyangnya, maka agama
Nasrani inilah yang lebih utama. Jadi tuduhan inilah yang di desas-desuskan oleh
Quraisy. Untuk itulah datang Firman Tuhan:
“Kami sungguh mengetahui bahwa mereka berkata; yang mengajarkan itu adalah seorang manusia. Bahasa orang yang mereka tuduhkan itu bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.” (Qur’an: 16: 103)
Dengan propaganda semacam itu dan sebangsanya Quraisy memerangi Muhammad lagi dengan harapan akan lebih ampuh daripada gangguan yang dialaminya dan siksaan yang dialami pengikut-pengikutnya. Akan tetapi kuatnya kebenaran dalam bentuk yang jelas dan sederhana yang dilukiskan melalui ucapan Muhammad, lebih tinggi dari yang mereka katakan.
Makin sehari makin tersebar juga itu di
kalangan orang-orang Arab. Tufail b. ‘Amr ad-Dausi, seorang bangsawan dan
penyair cendikiawan, ketika datang di Mekah segera dihubungi oleh Quraisy dengan
memperingatkannya dari Muhammad dan kata-katanya yang mempesonakan itu, yang
hendak memecah-belah orang dengan keluarganya, bahkan dengan dirinya sendiri.
Mereka kuatir kalau peristiwa seperti Mekah itu akan menimpa mereka juga. Jadi
sebaiknya jangan mengajak dan jangan mendengarkan dia bicara.
Hari itu
Tufail pergi ke Ka’bah. Muhammad sedang di sana. Ketika ia mendengarkan
kata-kata Muhammad, ternyata itu kata-kata yang baik sekali. “Biar aku mati, aku
seorang cendekiawan, penyair,” katanya dalam hati. “Aku dapat mengenal mana yang
baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa
yang akan dikatakan orang itu! Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk
akan kutinggalkan.”
Diikutinya Muhammad sampai di rumah. Lalu
dikatakannya apa yang terlintas dalam hatinya itu. Muhammad menawarkan Islam
kepadanya dan dibacakannya ayat-ayat Quran. Laki-laki itu segera menerima Islam
dan dinyatakannya kebenaran itu dengan mengucapkan kalimat Syahadat.
Bilamana kemudian
ia kembali lagi kepada masyarakatnya sendiri diajaknya mereka itu menerima
Islam. Merekapun ada yang segera menerima, tapi ada juga yang masih
lambat-lambat. Dalam pada itu, beberapa tahun berikutnya sebagian besar mereka
sudah pula menerima Islam. Setelah pembebasan Mekah dan sesudah susunan politik
dengan bentuk tertentu sudah mulai terarah, merekapun menggabungkan diri kepada
Nabi.
Peristiwa Tufail ad-Dausi ini tidak lebih adalah sebuah contoh saja
dari sekian-banyak peristiwa. Yang telah menerima ajakan Muhammad ini bukan
terdiri dari hanya penyembah-penyembah berhala saja. Sewaktu dia di Mekah dulu
pernah datang kepadanya duapuluh orang Nasrani, setelah mereka mendengar berita
itu. Lalu mereka menanyainya, mendengarkan kata-katanya. Merekapun
menerima,mereka beriman dan mempercayainya. Inilah pula yang membuat Quraisy
makin geram, sehingga mereka juga dimaki-maki.
“Kamu utusan yang gagal.
Kamu sekalian disuruh oleh masyarakat seagamamu mencari berita tentang orang
itu. Sebelum kamu kenal benar-benar siapa dia agama kamu sudah kamu tinggalkan
dan lalu percaya saja apa yang dikatakannya.”
Tetapi kata-kata Quraisy
itu tidak membuat utusan itu mundur menjadi pengikut Muhammad, juga tidak lalu
meninggalkan Islam. Bahkan imannya kepada Allah lebih kuat daripada ketika
mereka masih dalam agama Nasrani. Mereka sudah menyerahkan diri kepada Tuhan
sebelum mereka mendengarkan Muhammad.
Tetapi apa yang terjadi terhadap
diri Muhammad lebih hebat lagi dari itu. Orang Quraisy yang paling keras
memusuhinya sudah mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri: benarkah ia mengajak
orang kepada agama yang benar? Dan apa yang dijanjikan dan diperingatkan kepada
mereka, itu pula yang benar?
Abu Sufyan b. Harb, Abu Jahl b. Hisyam dan
al-Akhnas b. Syariq malam itu pergi ingin mendengarkan Muhammad ketika sedang
membaca Qur’an di rumahnya. Mereka masing-masing mengambil tempat
sendiri-sendiri untuk mendengarkan, dan tempat satu sama lain tidak saling
diketahui. Muhammad yang biasa bangun tengah malam, malam itu juga ia sedang
membaca Qur’an dengan tenang dan damai. Dengan suaranya yang sedap itu ayat-ayat
suci bergema ke dalam telinga dan kalbu.
Tetapi sesudah fajar tiba,
mereka yang mendengarkan itu terpencar pulang ke rumah masing-masing. Di tengah
jalan, ketika mereka bertemu, masing-masing mau saling menyalahkan:
Jangan
terulang lagi. Kalau kita dilihat oleh orang-orang yang masih bodoh, ini akan
melemahkan kedudukan kita dan mereka akan berpihak kepada
Muhammad.
Tetapi pada malam kedua, masing-masing mereka membawa perasaan
yang sama seperti pada malam kemarin. Tanpa dapat menolak, seolah kakinya
membawanya kembali ke tempat yang semalam itu juga, untuk mendengarkan lagi
Muhammad membaca Qur’an. Hampir fajar, ketika mereka pulang, bertemu lagi mereka
satu sama lain dan saling menyalahkan pula. Tetapi sikap mereka demikian itu
tidak mengalangi mereka untuk pergi lagi pada malam ketiga.
Setelah
kemudian mereka menyadari, bahwa dalam menghadapi dakwah Muhammad itu mereka
merasa lemah, berjanjilah mereka untuk tidak saling mengulangi lagi perbuatan
mereka demikian itu. Apa yang sudah mereka dengar dari Muhammad itu, dalam jiwa
mereka tertanam suatu kesan, sehingga mereka satu sama lain saling menanyakan
pendapat mengenai yang sudah mereka dengar itu. Dalam hati mereka timbul rasa
takut. Mereka kuatir akan jadi lemah, mengingat masing-masing adalah pemimpin
masyarakat, sehingga dikuatirkan masyarakatnyapun akan jadi lemah pula dan
menjadi pengikut Muhammad juga.
Gerangan apa keberatan mereka menjadi
pengikut-pengikut Muhammad? Padahal ia tidak mengharapkan harta dari mereka,
tidak ingin menjadi pemimpin mereka, menjadi raja mereka atau penguasa di atas
mereka? Disamping itu dia adalah laki-laki yang sungguh rendah hati, sangat
mencintai masyarakatnya, setia kepada mereka dan ingin sekali membimbing mereka.
Sangat halus perasaannya, sehingga kalau akan merugikan orang miskin atau yang
lemahpun ia merasa takut.
Setiap ia mengalami penderitaan, hatinya baru merasa
tenang bila ia sudah merasa mendapat pengampunan. Bukankah tatkala suatu hari ia
sedang dengan al-Walid bin’l-Mughira, salah seorang pemimpin Quraisy yang
diharapkan keislamannya, tiba-tiba lewat Ibn Umm Maktum yang buta, dan minta
diajarkan Qur’an kepadanya. Begitu mendesak ia, sehingga Muhammad merasa kesal
karenanya, mengingat ia sedang sibuk menghadapi Walid. Ditinggalkannya orang
buta itu dengan muka masam.
Tetapi setelah ia kembali seorang diri hati
kecilnya memperhitungkan perbuatannya tadi itu sambil bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri: Salahkah aku? Tiba-tiba datang wahyu dengan ayat-ayat
berikut:
“Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan kau, barangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna baginya. Tetapi kepada orang yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang kepadamu. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peringatan itu. Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan disucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang bersih.” (Qur’an: 80: 1-16)
Kalau memang
itu soalnya, apalagi yang mengalangi Quraisy menjadi pengikutnya dan mendukung
dakwahnya? Terutama sesudah hati mereka jadi lembut, sesudah mereka melupakan
masa masa silam dengan bertahan pada warisan lapuk yang membuat jiwa mereka jadi
beku, dan sesudah mereka melihat bahwa ajaran Muhammad itu sempurna, dan penuh
keagungan?
Tetapi! Benarkah masa yang sudah bertahun-tahun itu membuat
orang lupa akan kebekuan jiwanya, akan sikapnya yang konservatif terhadap masa
lampau yang sudah lapuk? Ini dapat terjadi pada orang-orang istimewa, yang dalam
hatinya selalu terdapat kerinduan pada yang sempurna. Dalam hidup mereka, mereka
masih mau mempelajari adanya kebenaran yang sebelumnya sudah mereka percayai
untuk kemudian membuang segala kepalsuan yang masih melekat, betapapun tingginya
tingkat kebudayaan orang itu.
Hati dan pikiran mereka sudah seperti kuali tempat melebur logam yang selalu mendidih, menerima setiap pendapat baru yang dilemparkan kedalamnya, lalu dilebur dan disaring. Mana yang bernoda dibuang, dan tinggal yang baik, yang benar dan yang indah. Mereka itu mencari kebenaran tentang apa saja, di mana saja dan dari siapa saja. Oleh karena pada setiap bangsa, setiap zaman, mereka ini merupakan inti yang terpilih, maka jumlah mereka selalu sedikit. Mereka selalu mendapat perlawanan, yang datangnya terutama dari orang-orang kaya, orang orang berkedudukan dan orang-orang berkuasa.
Mereka takut setiap corak pembaruan itu akan menelan harta mereka, akan menghilangkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Selain dengan cara hidup mereka yang demikian itu, kenyataan lain yang sudah begitu jelas tidak mereka kenal. Semua itu bagi mereka adalah benar apabila ia dapat menambah kekuatan mereka, dan tidak benar apabila ia dapat menimbulkan kesangsian, sedikit sekalipun. Pemilik harta menganggap, bahwa moral itu benar adanya bilamana ia dapat memberikan tambahan ke dalam hartanya, dan tidak benar bilamana ia merintanginya.
Agama adalah benar, bilamana ia dapat membukakan jalan buat
hawa-nafsunya, dan tidak benar kalau ia menjadi penghalang hawa-nafsu itu. Yang
memiliki kedudukan, yang memiliki kekuasaan dalam hal ini sama saja seperti
pemilik harta itu.
Dalam perlawanan mereka terhadap segala pembaharuan
yang mereka takuti itu, mereka menghasut orang awam yang rejekinya tergantung
kepada mereka, supaya memusuhi penganjur pembaharuan itu. Mereka minta bantuan
awam supaya menyucikan bangunan-bangunan kuno yang sudah dimakan kutu setelah
minggat ruh yang ada di dalamnya.
Benteng-benteng itu mereka jadikan kuil-kuil dari batu, untuk menimbulkan kesan kepada awam yang tak bersalah itu, bahwa ruh suci yang mereka bungkus dengan kain putih, masih dalam keagungannya dalam kurungan kuil-kuil itu. Pada umumnya awam itu membela mereka, sebab, yang penting ia melihat pencariannya.
Baginya tidak mudah akan dapat memahami, bahwa
kebenaran itu tidak akan tahan tinggal terkurung dalam tembok-tembok kuil
betapapun indah dan agungnya tempat itu, dan bahwa sifat kebenaran itu akan
selalu bebas menyerbu dan mengisi jiwa orang. Baginya tidak beda jiwa seorang
tuan atau jiwa seorang budak. Juga tak ada sebuah peraturan betapapun kerasnya
yang dapat merintangi hal itu.
Bagaimana orang dapat mengharapkan dari
mereka, mereka yang pernah datang sembunyi-sembunyi mendengarkan pembacaan
Qur’an itu, akan mau beriman kepadanya, karena ia menegur mereka yang banyak
melakukan pelanggaran itu, karena ia tidak membeda-bedakan si buta miskin dengan
orang yang hartanya berlimpah-limpah, kecuali dari kebersihan jiwanya. Kepada
seluruh umat manusia diserukannya, bahwa:
“Yang paling mulia di antara kamu
dalam pandangan Allah ialah yang paling dapat menjaga diri (yang paling takwa).”
(Qur’ an, 49: 13)
Kalaupun Abu Sufyan
dan kawan-kawannya masih bertahan dengan kepercayaan leluhur mereka, bukanlah
hal itu karena dilandasi oleh iman atau kebenaran yang ada, tapi karena mereka
sudah terlalu mencintai pada cara lama yang mereka adakan itu. Kemudian nasib
membantu mereka pula. Mereka bertahan hanya karena kedudukan dan harta yang
sudah berlimpah-limpah, dan untuk itu pula mereka bertempur
mati-matian.
Di samping kecenderungan ini juga karena rasa dengki dan
persaingan yang keras membuat Quraisy tidak mau menjadi pengikut Nabi. Sebelum
kedatangan Muhammad, Umayya b. Abi’sh-Shalt memang termasuk salah seorang yang
pernah bicara tentang seorang nabi yang akan tampil di tengah-tengah masyarakat
Arab itu, dan dia sendiri berhasrat sekali ingin jadi nabi.
Perasaan dengki itu
rasa membakar jantungnya tatkala ternyata kemudian wahyu tidak datang kepadanya.
Jadi dia tidak mau menjadi pengikut orang yang dianggapnya saingannya. Apalagi,
karena (sebagai penyair) sajak-sajaknya penuh berisi pikiran, sehingga pernah
suatu hari Nabi .a.s. menyatakan ketika sajaknya dibacakan di hadapannya:
“Umayya, sajaknya sudah beriman, tapi hatinya ingkar.”
Atau seperti kata
al-Walid bin’l-Mughira: “Wahyu didatangkan kepada Muhammad, bukan kepadaku,
padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy. Juga tidak kepada Abu Mas’ud ‘Amr b.
‘Umair ath-Thaqafi sebagai pemimpin Thaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua
kota.”
Untuk itulah firman Tuhan memberi isyarat:
“Dan mereka berkata: ‘Kenapa
Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar dari dua kota itu?’ Adakah mereka
membagi-bagikan kurnia Tuhanmu? Kamilah yang membagikan penghidupan mereka itu,
dalam hidup dunia ini.” (Qur’an 43: 13-32)
Setelah Abu
Sufyan, Abu Jahl dan Akhnas selama tiga malam berturut-turut mendengarkan
pembacaan Qur’an, seperti dalam cerita di atas, Akhnas lalu pergi menemui Abu
Jahl di rumahnya. “Abu’l-Hakam,2 bagaimana pendapatmu
tentang yang kita dengar dari Muhammad?” tanyanya kepada Abu Jahl.
“Apa
yang kaudengar?” kata Abu Jahl. “Kami sudah saling memperebutkan kehormatan itu
dengan Keluarga ‘Abd Manaf. Mereka memberi makan, kamipun memberi makan, mereka
menanggung kamipun begitu, mereka memberi kami juga memberi sehingga kami dapat
sejajar dan sama tangkas dalam perlumbaan itu. Tiba-tiba kata mereka: “Di
kalangan kami ada seorang nabi yang menerima “wahyu dari langit.” Kapan kita
akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami sama sekali tidak akan percaya dan
tidak akan membenarkannya.”
Jadi yang dalam sekali berpengaruh dalam jiwa
orang-orang badui itu ialah rasa dengki, saling bersaing dan saling
bertentangan. Dalam hal ini salah sekali bila orang mencoba mau menutup mata
atau tidak menilainya sebagaimana mestinya.
Cukup kalau kita sebutkan saja adanya kekuasaan nafsu yang begitu besar dalam jiwa tiap orang. Untuk dapat mengatasi pengaruh ini memang diperlukan suatu latihan yang cukup panjang, latihan jiwa dengan mengutamakan hukum akal diatas dorongan nafsu, jiwa dan pikiran kita harus cukup tinggi sehingga dapat ia melihat bahwa kebenaran yang datang dari lawan bahkan dari musuh itu, itu jugalah kebenaran yang datang dari kawan karibnya.
Ia harus yakin, bahwa dengan kebenaran yang dimilikinya itu
kekayaannya sudah lebih besar dari harta karun, dari kebesaran Iskandar (Agung)
dan dari kerajaan seorang kaisar. Tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkat
ini kalau tidak karena Tuhan sudah membukakan hatinya untuk kebenaran itu.
Diluar itu, untuk
mencapai tingkat pengertian yang lebih tinggi, orang sudah dibutakan oleh harta
benda duniawi, oleh kenikmatan hidup sejenak yang dirasakannya. Untuk
kepentingan duniawi itu, untuk memburu saat sejenak itu, mereka berperang dan
bertempur. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghambat mereka menancapkan kuku
dan gigi mereka ke batang leher kebenaran, kebaikan dan pengertian moral yang
tinggi itu. Lalu, kesempurnaan yang paling suci artinya itu oleh mereka akan
diinjak-injak di bawah telapak kaki yang sudah kotor.
Bagaimana pendapat
kita tentang orang-orang Arab Quraisy itu yang melihat Muhammad makin sehari
makin banyak pengikutnya? Mereka kuatir, kebenaran yang sudah diproklamirkan itu
suatu ketika akan menguasai mereka, akan menguasai orang-orang yang sudah setia
kepada mereka, yang lalu akan menjalar sampai kepada orang-orang Arab di seluruh
jazirah.
Sebelum melakukan itu mereka harus memotong leher orang itu dulu jika
dapat mereka lakukan. Lebih dulu mereka harus melakukan propaganda, pemboikotan,
blokade, penyiksaan dan kekerasan terhadap musuh-musuh besar mereka
itu.
Sebab ketiga keberatan mereka menjadi pengikut Muhammad ialah mereka
takut sekali pada hari kebangkitan serta siksa neraka pada Hari Perhitungan
kelak. Kita sudah melihat masyarakat yang begitu hanyut dalam hidup
bersenang-senang dengan cara yang berlebih-lebihan. Mereka menganggap
perdagangan dan riba itu wajar. Bagi orang kaya di kalangan mereka itu tak ada
sesuatu yang dipandang hina, yang harus dijauhi. Disamping itu, dengan
membawakan sesajen segala kejahatan dan dosa mereka itu sudah dapat ditebus.
Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan qidh (anak panah) di depan Hubal,
sebelum ia melakukan sesuatu tindakan. Tanda yang diberikan oleh anak panah,
itulah perintah yang datang dari Hubal. Supaya kejahatan-kejahatan dan
dosa-dosanya itu diampuni oleh berhala-berhala, cukup ia menyembelih binatang
untuk berhala-berhala itu. Ia dapat dibenarkan melakukan pembunuhan, perampokan,
melakukan kejahatan, ia tidak dilarang menjalankan pelacuran selama ia mampu
memberi suap kepada dewa-dewa itu berupa kurban-kurban dan
penyembelihan-penyembelihan.
Sekarang datang Muhammad membawakan
ayat-ayat yang begitu menakutkan, membuat jantung mereka rasakan pecah karena
ngerinya, sebab Tuhan selalu mengawasi mereka. Pada Hari Kemudian mereka akan
dibangkitkan kembali sebagai kejadian baru, dan bahwa yang akan menjadi penolong
mereka hanyalah perbuatan mereka sendiri.
“Apabila datang suara dahsyat yang
memekakkan. Tatkala seseorang lari meninggalkan saudaranya. Ibunya dan bapanya.
Isterinya dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu dengan urusannya sendiri.
Wajah-wajah pada hari itu ada yang berseri. Tertawa dan bergembira. Dan ada pula
wajah-wajah kelabu pada hari itu. Tertutup kegelapan. Mereka itulah orang-orang
yang ingkar, orang-orang yang sudah rusak.” (Qur’an, 80:
33-42)
Dan suara
dahsyat itu datang.
“Apabila langit sudah bagaikan
hancuran logam. Dan gunung-gunung bagaikan gumpalan bulu. Dan tak akan ada kawan
akrab menanyakan kawannya. Padahal mereka menampakkan diri kepada mereka. Ingin
sekali orang jahat itu akan dapat menebus diri dari siksaan hari itu dengan
memberikan anak-anaknya. Isterinya, saudaranya. Dan keluarganya yang
melindunginya. Dan semua yang ada di bumi; kemudian ia hendak menyelamatkan
diri. Tidak sekali-kali. Itu adalah api menyala. Lapisan kepalapun tercabut.
Dipanggilnya orang yang telah pergi membelakangi dan yang berpaling. Yang telah
menyimpan kekayaan dan menyembunyikannya.” (Qur’an, 70:
8-18)
“Hari itulah kamu dihadapkan akan diadili. Perbuatanmu
takkan ada yang tersembunyi. Barangsiapa yang suratnya diberikan kepadanya
dengan tangan kanan, ia akan berkata ini dia! Bacakan suratku. Sudah percaya
benar aku bahwa aku akan nmenemui perhitungan. Lalu ia berada dalam kenikmatan
hidup. Dalam taman yang tinggi. Buah-buahannyapun dekat sekali. Makanlah, dan
minumlah sepuas hati, sesuai dengan amalmu yang kamu sediakan masa lampau.
Tetapi, barangsiapa yang suratnya diberikan dengan tangan kiri, ia akan berkata:
Ah, coba aku tidak diberi surat! Dan tidak lagi aku mengetahui, bagaimana
perhitunganku! Ah, sekiranya aku mati saja. Kekayaanku tidak dapat menolong aku.
Hancurlah sudah kekuasaanku. Sekarang bawalah dia dan belenggukan. Sesudah itu,
campakkan ia kedalam api neraka. Lalu masukkan ia ke dalam mata rantai,
panjangnya tujuhpuluh hasta. Tadinya ia tiada beriman kepada Tuhan yang Maha
Agung. Dan tiada pula mendorong memberikan makanan kepada orang miskin. Maka,
sekarang disini tak ada lagi kawan setianya. Tiada makanan baginya selain
daripada kotoran. Yang hanya dimakan oleh mereka yang penuh dosa.” (Qur’an, 69: 18-37)
Sudahkah orang
membacanya? Sudahkah mendengarnya? Tidakkah merasa ngeri, merasa takut? Ini
hanya sebahagian kecil dari yang pernah diperingatkan Muhammad kepada
masyarakatnya. Kita membacanya sekarang, dan sebelum itupun sudah pula
membacanya, mendengarnya, berulang kali. Segala gambaran neraka yang terdapat
dalam Qur’an hidup lagi dalam pikiran kita, ketika kita membacanya kembali.
“... Setiap kulit-kulit mereka itu
sudah matang, Kami ganti dengan kulit lain lagi, supaya siksaan itu mereka
rasakan.” (Qur’an, 4: 56)
Dengan
merasakan adanya kengerian itu, orang akan mudah memperkirakan betapa sebenarnya
perasaan Quraisy dan terutama orang-orang kayanya, tatkala mendengarkan
kata-kata semacam itu, sebab sebelum mereka mendapat peringatan tentang siksa,
mereka sudah merasa dirinya jauh dan aman dari itu, dalam lindungan dewa-dewa
dan berhala-berhala mereka.
Juga sesudah itu orang akan mudah pula
memperkirakan betapa meluapnya semangat mereka mendustakan Muhammad, mengadakan
tantangan dan penghinaan. Mereka memang tidak pernah mengenal arti Hari
Kebangkitan, juga mereka tidak pernah mengakui apa yang didengarnya itu.
Tidak ada diantara mereka itu yang membayangkan, bahwa setelah orang meninggalkan hidup ini, ia akan mendapat balasan atas segala perbuatan selama hidupnya. Tetapi apa yang mereka takutkan dalam hidup mereka pada hari kemudian itu, ialah mereka takut akan penyakit, takut akan mengalami bencana pada harta benda, pada turunan, kedudukan dan kekuasaannya. Hidup sekarang ini bagi mereka ialah seluruh tujuan hidupnya.
Seluruh perhatian mereka hanya tertuju untuk memupuk segala macam kesenangan dan menolak segala macam yang mereka takuti. Bagi mereka hari kemudian ialah masalah gaib yang masih tertutup. Dalam hati mereka sudah merasa bahwa apabila perbuatan mereka itu jahat dunia gaib itu boleh jadi akan mendatangkan bencana kepada mereka.
Lalu mereka menantikan adanya alamat baik
atau alamat buruk. Segera mereka mengadukan nasib itu dengan permainan anak
panah, dengan mengocok batu-batu kerikil dan menolak burung3 serta menyembelih
kurban. Semua itu merupakan penangkal terhadap segala yang mereka takuti dalam
hidup mereka di kemudian hari.
Sebaliknya, segala yang mengenai adanya
balasan sesudah mati, mengenai hari kebangkitan tatkala sangkakala ditiup,
mengenai surga yang disediakan untuk mereka yang takwa, neraka untuk mereka yang
aniaya, mengenai semua itu memang tak pernah terlintas dalam pikiran
mereka.
Pada dasarnya mereka sudah pernah mendengar semua itu dalam agama
Yahudi dan Nasrani. Tetapi mereka belum pernah mendengar dengan gambaran yang
begitu kuat dan menakutkan seperti yang mereka dengar melalui wahyu kepada
Muhammad itu, dan yang memberi peringatan kepada mereka - akan siksa abadi dalam
perut neraka, yang sangat menggamakkan hati karena rasa takut hanya dengan
mendengar gambarannya saja - kalau mereka masih juga seperti keadaan itu,
bersukaria dan berlumba-lumba memperbanyak harta dengan melakukan penindasan
terhadap si lemah, makan harta anak piatu, membiarkan kemiskinan dan melakukan
riba secara berlebih-lebihan.
Apalagi kalau orang dapat melihat dengan hati
nuraninya jalan yang ditempuh manusia dengan langkah yang begitu sempit selama
hidupnya menuju mati, sesudah kebangkitan kembali kelak dengan segala suka dan
dukanya.
Sebaliknya surga yang dijanjikan Tuhan yang luasnya seperti
langit dan bumi, disitu takkan terdengar cakap kosong, juga tak ada perbuatan
dosa. Yang ada hanyalah ucapan “selamat.” Segala yang menyenangkan hati,
menyedapkan mata itulah yang ada.
Tetapi Quraisy menyangsikan semua itu. Dan
yang menambah lagi kesangsian mereka karena mereka menginginkan segala yang
segera. Mereka ingin melihat kenikmatan itu nyata dalam kehidupan dunia ini.
Mereka tidak betah menunggu sampai hari pembalasan, sebab mereka memang tidak
percaya pada hari pembalasan itu.
Boleh jadi orang akan merasa heran
bagaimana jantung orang-orang Arab itu sampai begitu rapat tertutup tidak mau
menerima persepsi hidup akhirat serta balasan yang ada. Padahal perjuangan
antara yang baik dengan yang jahat itu sudah berkecamuk dalam sejarah manusia
sejak dunia ini berkembang, tak pernah berhenti dan tak pernah diam.
Orang-orang Mesir purbakala, ribuan tahun sebelum kerasulan Muhammad melengkapi mayat mereka dengan segala perbekalan untuk keperluan akhirat, dalam kafannya diletakkan pula “Kitab Orang Mati” lengkap dengan nyanyian-nyanyian dan peringatan-peringatan.
Pada kuil-kuil mereka dilukiskan pula gambar-gambar timbangan, perhitungan,
taubat dan siksaan. Orang-orang India menggambarkan jiwa bahagia itu dalam
Nirwana. Sedang penitisan ruh jahat dilukiskan dalam bentuk makhluk-makhluk yang
sejak ribuan dan jutaan tahun tersiksa sampai ia ditelan oleh kebenaran, supaya
menjadi suci. Kemudian ia kembali lagi melakukan kebaikan, karena ingin mencapai
Nirwana.
Juga orang-orang Majusi di Persia. Mereka tidak menolak adanya
perjuangan yang baik dan yang jahat, Dewa Gelap dan Dewa Cahaya. Juga agama yang
dibawa Musa, agama yang dibawa Kristus, sama-sama melukiskan adanya kehidupan
yang kekal, adanya kesukaan Tuhan dan kemurkaanNya.
Sekarang orang-orang Arab. Tidakkah semua itu pernah sampai kepada mereka? Mereka adalah pedagang-pedagang yang dalam perjalanan mereka pernah mengadakan hubungan dengan agama-agama itu semua. Bagaimana mereka tidak mengenalnya? Bagaimana tidak mungkin itu akan menimbulkan suatu persepsi khusus pada mereka? Mereka adalah orang-orang pedalaman yang banyak sekali berhubungan dengan alam lepas tak terbatas.
Lebih
mudah bagi mereka melukiskan ruh-ruh yang terdapat dalam wujud ini, menjelma
pada siang hari yang terang menyala atau pada senja menjelang malam gulita.
Ruh-ruh yang baik dan yang jahat, ruh-ruh yang mereka anggap bersemayam dalam
diri berhala-berhala yang akan mendekatkan mereka kepada Tuhan itu.
Jadi
sudah tentu mereka juga mempunyai konsep tentang alam gaib yang ada di sekitar
mereka. Akan tetapi, mereka sebagai masyarakat pedagang, jiwa mereka lebih
cenderung pada yang nyata saja. Juga karena kegemaran mereka hidup
bersenang-senang, minum minuman keras, sama sekali mereka menolak adanya balasan
hari kemudian. Apa yang diperoleh orang dalam hidupnya, menurut anggapan mereka,
baik atau buruk adalah balasan atas perbuatannya. Dan tak ada balasan lagi
sesudah hidup ini.
Oleh karena itu wahyu yang berisi peringatan dan berita
gembira pada mula kerasulan itu kebanyakannya turun di Mekah; karena ia ingin
menyelamatkan ruh mereka, tempat Muhammad diutus itu. Sudah sepatutnya pula bila
ia mengingatkan mereka atas dosa dan kesesatan yang telah mereka lakukan itu.
Sudah sepatutnya pula bila ia ingin mengangkat mereka dari lembah penyembahan
berhala kepada penyembahan Allah Yang Tunggal, Maka Kuasa.
Demi
keselamatan rohani keluarga dan umat manusia seluruhnya, Muhammad serta
orang-orang yang beriman sudi memikul segala macam siksaan dan pengorbanan,
memikul penderitaan rohani dan jasmani, dan kemudian pergi meninggalkan tanah
tumpah darah, menjauhi permusuhan sanak-keluarga, yang sepintas-lalu sudah kita
lihat di atas.
Dan seolah cinta Muhammad makin dalam kepada mereka, makin besar
hasratnya ingin menyelamatkan mereka, setiap ia mengalami penderitaan dan
siksaan yang lebih besar lagi dari mereka itu. Hari Kebangkitan dan Hari
Perhitungan adalah ayat-ayat yang harus diperingatkan kepada mereka guna
menolong mereka dari penyakit paganisma dan gelimang dosa yang.menimpa mereka
itu. Pada tahun-tahun permulaan itu tiada henti-hentinya wahyu memperingatkan
dan membukakan mata mereka.
Sungguhpun begitu mereka tetap gigih tidak
mau mengakui, tetap menolak, sampai-sampai mereka terdorong mengobarkan perang
mati-matian. Bahaya dan bencana peperangan itu baru padam sesudah Islam mendapat
kemenangan, sesudah Allah menempatkannya diatas segala agama.
Download Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" oleh Muhammad Husain Haekal
Apa saja isi Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" ini? Cek dulu Daftar Isinya disiniCatatan Kaki Perbuatan-Perbuatan Quraisy Yang Keji
1. Juru penerang yang
mempesonakan, Juru pesona bahasa
atau pesona bahasa hampir merupakan
terjemahan harfiah dari ungkapan Sahir’-bayan atau Sihr’l-bayan, yang sukar
diterjemahkan, yakni suatu retorika, yang karena kefasihan dan keindahan
bahasanya, orang yang mendengarnya terpesona seperti kena sihir lalu cepat
sekali menerima (A).
2. Nama panggilan Abu Jahl (A).
3. Menolak burung artinya
melempari burung dengan batu
kerikil atau mengusirnya dengan suara. Kalau
burung terbang ke arah kanan, maka itu alamat buruk.