Dari Perkawinan Sampai Masa Kerasulannya oleh Muhammad Husain Haekal - Topik pembahasan pada bagian keempat ebook sejarah kehidupan Rasulullah SAW yang ditulis oleh M. H Haekal ini adalah:- Perawakan dan sifat-sifat Muhammad
- Penduduk Mekah membangun Ka’bah
- Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
- Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma
- Putera-puteri Muhammad
- Kematian putera-puterinya
- Perkawinan putera-puterinya
- Kecenderungan Muhammad menyendiri
- Menjauhi dosa ke Gua Hira’
- Mimpi Hakiki
- Wahyu pertama
Buku Sejarah Hidup Muhammad Karya Muhammad Husain Haekal
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad
melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah
dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling
mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal
nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang
dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari
perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.
Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib
1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih
hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat
lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya
manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek,
dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan
lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan
bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke
merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan
bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang
bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya
lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan
kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak
condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan
renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat
orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila
Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad
dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya
semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan
berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup.
Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka
melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa
turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi
pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya
tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka
itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang
mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang
lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia
rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia
mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu
iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang
dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat
gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara
kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa
amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya
yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana
ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti,
berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat
demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali
pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan
timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin
dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh
setia itu.
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga
partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat
sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa
dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi
sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy
merasa takut; kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi
beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka.
Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda
yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami
bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih
serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum
2 yang
datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli
bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui
hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya
berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka’bah
kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa
diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah itu
oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus
dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka
masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira
tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada
dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.
3 Tinggal
lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap
al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun
ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut
pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang
terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai
fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang
Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun
segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya
meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka
timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat
kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan
itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan
keluarga ‘Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan
dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama.
Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke
dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama
La’aqat’d-Dam, yakni ‘jilatan darah.’
Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu
Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi.
Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
“Serahkanlah
putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa
ini.”
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya.”
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun
mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan
itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya.
Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya
dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah
memegang ujung kain ini.”
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke
tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan
bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai
setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian
rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu
mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah
dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal
di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya,
yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran
pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan
keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang
mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh
lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja;
tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki
pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas
kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah,
menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya
pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’aqat’d-Dam (‘Jilatan Darah’),
dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa,
menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan
yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah tak ada
lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya
sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Dengan jatuhnya
kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap
Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab
terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan
pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela
orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan
berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan
hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang
Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih
memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu
adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya
kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka’bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan
memang demikianlah sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati
kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya
pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada beberapa
keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang
berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang di antara mereka
diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. ‘Amr, Usman
bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b. Naufal.
Mereka satu
sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka
dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak,
melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban
yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama
lain, bukan ini.”
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama
Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab.
‘Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan
ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai
matinya. Tetapi isterinya - Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam,
sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan
Umm’l-Mu’minin.
Zaid b. ‘Amr malah pergi meninggalkan isteri dan
al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi
dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia
meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata,
sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara
bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku
tidak me ngetahuinya.”
Usman bin’l-Huwairith, yang masih berkerabat
dengan Khadijah, pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia
mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin
menjadi Gubernurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta
perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah.
Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia
mati di tempat itu karena diracun.
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap
bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih,
menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti:
al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri
seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah
tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada
zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang
pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada tiap
kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala
menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa
berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan,
ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena kematian anak demikian
sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya,
yang hidup terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah
duduk-duduk di sampingnya
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga
betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan
anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama
dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi
contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas
kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya
kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang
menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia
menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali
ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul
juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan
sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
[
Sudah
tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh
juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya
tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh
Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah,
menyembelih hewan buat Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.
4
Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan
tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama
sekali.
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan
perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat
(kufu’). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-‘Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd
Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah - seorang pemuda yang dihargai
masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan
ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam - ketika Zainab akan
hijrah dan Mekah ke Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat
lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan
‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah
dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan
isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.
5
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak
karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat
dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda
yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan
dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan
mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula
yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia
berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling
banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah
mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia,
serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak
mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah
kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga
Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya. Begitu
besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin
menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir
seperti , dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya
hanyalah kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia
bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali
dinyatakan kepada orang lain.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab
masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun
menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada
tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan
pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan
tahannuth.6
Di tempat ini
rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan
renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan
ketenangan dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri,
ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin
mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Di puncak Gunung
Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak
sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang
bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya
dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh
dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan
hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat
kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada
dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia
sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran
batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala
prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran
yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam
tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan
langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala
panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang
jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang
ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam
alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada
saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan
dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak
memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh
masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai
kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali.
Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula
mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa
bahaya. Hubal, Lat dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang
terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun
seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi!
Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam
semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan
bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan
diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi
ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu
tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di
balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak
berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang,
dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah
bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau
hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak
mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan
atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah
bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang
lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang
dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira’. Ia
ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu
memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang
dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu
dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya
membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat
selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu?
Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang
digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada
yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada
yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat
dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali
pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah
sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan
Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia
bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang
terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki
yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu
pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam
kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa
masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka
telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang
sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong
mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang
benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara
paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak
yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah
Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah
Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah
bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiapa mengerjakan
kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan
seberat atompun akan dilihatNya pula.” (Qur’an,
99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya.
Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat
tinggal dan kediaman yang paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia
empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira’ melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh
iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah
membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya
baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada
Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh
jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang
sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri
itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia
berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu,
melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat,
hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan
yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan,
sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh
karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan
apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan
jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya,
sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami
itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan
rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat,
yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan
pesan dan risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam
gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat
membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi
seraya katanya lagi:
“Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi
Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata:
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena.
Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ...” (Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan
itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang
ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi
tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa
yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya
itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil
bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang
pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi
hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan
yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana
kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke
dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar
terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah
menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah
yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan
manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan
pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu
masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara
memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba
yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia
makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang
dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat
indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan
demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua
tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad
pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata:
“Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam.
Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan
pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah, kenapa aku?” katanya.
Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa
kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum
saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat
ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang
sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir
atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya
berkata:
“O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan
tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya
engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan
kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata,
kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka
yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Muhammad sudah merasa tenang
kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih.
Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang
kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan
mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan
yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih
baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak
disukai.
Apa saja isi Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" ini? Cek dulu Daftar Isinya disini
Sejarah Hidup Muhammad | Husain Haekal
854KB Google Drive
Catatan Kaki
1 Berdasarkan pada sebagian
besar ahli genekologi, bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang:
al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang
mengatakan tiga, ada pula yang mengatakan empat orang.
2 Mungkin nama ini sudah
diarabkan (A)
3 Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan
nama-nama sudut utara, ar-rukn’l-iraqi (Irak), sudut selatan, ar-rukn’l-yamani,
sudut barat, ar-rukn’l-syami dan sudut timur, ar-rukn’l-aswad (A)
4 Hubal, Lat,
‘Uzza dan Manat adalah berhala-berhala sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal
berhala terbesar yang tinggal dalam Ka’bah, dibuat dari batu akik dalam bentuk
manusia (lihat halaman 21-22). Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. ‘Uzza
dan Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat dalam bentuk manusia
juga, ‘Uzza berhala kaum Thaqif. ‘Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak
di antara Mekah dengan Ta’if. Manat merupakan batu putih, berhala kaum Hudhail
dan Khuza’a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita. (A)
5 Usman b. ‘Affan, Khalifah
ketiga. Setelah Ruqayya diceraikan oleh ‘Utba diambil isteri oleh Usman b.
‘Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan ‘Utaiba, lalu diceraikan pula.
Sesudah dalam tahun ke-2 H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia
meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).
6 Tahannuf atau tahannafa,
mungkin asal katanya seakar dengan hanif, yang berarti ‘cenderung kepada
kebenaran’ ‘meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah’ (LA) atau
sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan Qur’an, 2: 135; 10: 105).
Tahannuth atau tahannatha, beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada
Tuhan’ (N). ‘Beribadat dan menjauhi berhala, seperti tahannatha (LA). Dalam
terjemahan selanjutnya kedua kata ini tidak diterjemahkan (A).
7 Bahasa Persia,
parsang, ukuran panjang dahulu kala, kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km.
(A).
8
Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana
dasarnya. Demikian juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan begitu.
Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam
keadaan jaga dan di waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui
Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibn
Kathir dalam Tarikh-nya menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na’im
al-Ashbahani dalam bukunya Dala’il’n-Nubawa dari ‘Alqama bin Qais, bahwa “Yang
mula-mula didatangkan kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan
maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan
ditambahkan: “Ini yang dikatakan ‘Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang
baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan sesudahnya.”
9 Suatu
kebiasaan orang Arab memanggil orang yang dianggap seturunan. Muhammad dan
Khadijah dari nenek moyang yang sama, yakni Qushayy (A).
10 Suatu
pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada masa itu, maksudnya “Demi Allah”
(A)