Muhammad Dari Kelahiran Sampai Perkawinannya oleh Muhammad Husain Haekal - Pada bagian ketiga Ebook Sejarah Hidup Baginda Nabi Muhammad SAW ini ada beberapa topik yang dibahas oleh Husain Haekal selaku penulis.
Topik pembahasannya meliputi:
- Perkawinan Abdullah dengan Aminah
- Abdullah wafat
- Muhammad lahir disusukan oleh Keluarga Sa’d
- Kisah dua malaikat
- Lima tahun selama tinggal di pedalaman
- Aminah wafat
- Di bawah asuhan Abd’l-Muttalib
- Abd’l-Muttalib wafat
- Di bawah asuhan Abu Talib
- Pergi ke Suria dalam usia dua belas tahun
- Perang Fijar
- Menggembala kambing
- Ke Suria membawa dagangan Khadijah
- Perkawinannya dengan Khadijah
Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Muttalib. Tak seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping Aminah.
Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.
Begitu berita sampai kepada Abd’l-Muttalib ia mengutus Harith - anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd’l-Muttalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.
Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.
Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh tahun.
Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.
Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.
Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l’Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Muttalib.
Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Muttalib.
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.
Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd’l-‘Uzza suaminya:
“Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”
“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”
Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.”
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah - ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata:
“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.
Baik kaum
Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas
dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang
melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur
Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad
tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun.
Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika
itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat
kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu
beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah
dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin
saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang
lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah
perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya
menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai
dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah
sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah
memberati punggungmu?” (Qur’an 94:
1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Qur’an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati
yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya,
dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan
demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam
hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan
bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh
mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan
sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri
hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Qur’an supaya
merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang
berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur’an tentang kaum Musyrik yang
tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad tinggal pada
Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan
kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada
teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku
dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”
Lima
tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan
kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia
menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk
daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad
dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia
dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga
untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima,
puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if
dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita
itu.
Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang
ketempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’l-Muttalib dan
memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd’l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya
dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang
berkata.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia
memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu
ini. Biasanya buat orang tua itu - pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah -
diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada
orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di
sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat
betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan
kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah
untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga
Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu
diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan.
Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali
juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu,
yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di
tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi
menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke
Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh
duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sesudah cukup sebulan
mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan
rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah.
Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan
dikuburkan pula di tempat itu.
Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke
Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang
makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda
keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah
dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat,
sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya.
Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya
masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan,
ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu:
“Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan
itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
Kenangan yang
memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit,
sekiranya Abd’l-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu
juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian
kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu
sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah
sampai ketempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itupun ia masih tetap
mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia
mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan
sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun achirnya
meninggal.
Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia:
mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan
berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi
mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila
mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu
yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan
itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umaya
yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu
diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga
Hasyim.
Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan
yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia
tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan
hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa
mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib
mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak
pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian
kepada Abu Talib.
Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada
anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti
dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika
ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru duabelas
tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan
olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas
menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan
kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu
dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian
padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber
menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau
dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui
tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah
sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap
bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud.
Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan
penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa
lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang
lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan
kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang
dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung
tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita
tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap
mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun
usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa,
kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan
ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam
kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang
sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti.
Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada
diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Talib
tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan
perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya
itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan
harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa
yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia
dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga,
kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna
dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair
Mudhahhabat dan Mu’allaqat.3 Pendengarannya terpesona
oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan,
melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa
mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan
Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua
itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang
telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa
lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke
jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama
datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu.
Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Kalau
Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu
Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan
pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan
suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi
paman-pamannya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang
telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di kalangan
kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini
karena ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah seharusnya
tidak boleh berperang. Pada waktu itulah pekan-pekan dagang diadakan di ‘Ukaz,
yang terletak antara Ta’if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu’l-Majaz,
tidak jauh dari ‘Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar perdagangan,
berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian berziarah ke tempat
berhala-berhala mereka di Ka’bah. Pekan ‘Ukaz adalah pekan yang paling terkenal
di antara pekan-pekan Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss (bin Sa’ida)
berpidato dan di tempat itu pula orang-orang Yahudi, Nasrani dan
penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas,
sebab bulan itu bulan suci.
Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah
Kinana tidak lagi menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan
oleh karena Nu’man bin’l-Mundhir setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari
Hira ke ‘Ukaz membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan membawa
kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan
membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa lalu
tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
Adapun
pilihan Nu’man terhadap ‘Urwa (Hawazin) ini telah menimbulkan kejengkelan
Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan
mengambil kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan kepada Basyar
bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas kepada Quraisy. Fihak
Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah
perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan bahwa tahun depan
perang akan diadakan di ‘Ukaz.
Perang demikian ini berlangsung antara
kedua belah pihak selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil
harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain.
Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang menggambarkan
kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu
Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga
yang mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang
tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia berumur
limabelas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur
duapuluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muhammad dalam
perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah yang
datang dari pihak Hawazin lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan
kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia sendiri yang
ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah berlangsung
sampai empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja diterima.
Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan
kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun sesudah kenabiannya
Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku
mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam
perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut
melaksanakan.”
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan,
sesudah Hasyim dan ‘Abd’l-Muttalib wafat, dan masing-masing pihak berkeras mau
jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka
berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin ‘Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah
bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh
keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama
Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai
orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut
Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di
rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak
pasti kukabulkan.”
Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke
pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati
mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan
sepuas-puasnya
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal
ini? Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta
asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan
dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu,
sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak
mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai
mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam
hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah dan
bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan
demikian itu.
Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar
seperti yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia
lebih keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang
kemudian pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu
mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya,
yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup
yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang
diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak
masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah
tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat
dipercaya’).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir,
ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia
menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa
gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di
antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan
katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala
kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”
Gembala
kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari,
dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang
serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai
manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia
melihat dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah juga ia menghirup
udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh
sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan
bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan semesta alam yang
tampak membentang di depannya, berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan
yang sudah ditentukan, matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam
akan mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu
memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan
menerkam domba itu, jangan sampai - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba
yang sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang
begitu kuat ini?
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari
segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga
adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena
itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan
nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu
adanya: Al-Amin.
Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing dengan seorang
kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin bermain-main seperti
pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa
ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan
dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi sesampainya diujung
Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat
itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke
Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah
turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai
pagi.
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu
terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Gerangan
apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu yang juga tidak
disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad?
Karena itu
ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia
sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta
kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu
cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak
pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri
dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini asal dia
masih dapat menyambung hidupnya.
Bukankah dia juga yang pernahh berkata:
“Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan
tidak sampai kenyang?” Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam
kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan
hidup? Cara orang mengejar harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya,
sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya. Kenikmatan jiwa yang
paling besar, ialah merasakan adanya keindahan alam ini dan mengajak orang
merenungkannya. Suatu kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang
telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup
dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini
dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian
kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak
memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang
kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan
menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Andaikata pada waktu itu Muhammad
dibiarkan saja begitu, tentu takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya
itu ia akan tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir, yang
telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah pula mereka berada dalam
pelukan kalbu alam.
Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita
sebutkan tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan diperoleh dari
pemilik-pemilik kambing yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia mendengar
berita, bahwa Khadijah bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk
menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya
dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal
dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan
keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang
kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia
yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa
Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam,
ia memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima
tahun.
“Anakku,” kata Abu Talib, “aku bukan orang berpunya. Keadaan makin
menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor
anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga.
Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?”
“Terserah paman,”
jawab Muhammad.
Abu Talibpun pergi mengunjungi
Khadijah:
“Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?” tanya Abu Talib.
“Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta Tapi buat
Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor.”
“Kalau permintaanmu
itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang
yang dekat dan kusukai.” Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman
kepada kemenakannya dengan menceritakan peristiwa itu. “Ini adalah rejeki yang
dilimpahkan Tuhan kepadamu,” katanya.
Setelah mendapat nasehat
paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil
jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui
Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru duabelas
tahun.
Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia lebih banyak
bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah
didengar sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam
atau di pasar-pasar sekeliling Mekah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu
dengan agama Nasrani Syam. Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta
agama itu, dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia
atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad berdebat tentang agama Isa,
agama yang waktu itu sudah berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan
sekta-sekta - seperti sudah kita uraikan di atas.
Dengan kejujuran dan
kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang
Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan
perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara
kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala
barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh
Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr’-z-Zahran.
Ketika itu Maisara berkata: “Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan
ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu.”
Muhammad berangkat
dan tengah hari sudah sampai di Mekah. Ketika itu Khadijah sedang berada di
ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan
bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya,
demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan
tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun datang pula yang lalu
bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya
budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat
saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia -
yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga hatinya mengawini
pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya.
Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah
sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa
pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau
kawin?”
“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab
Muhammad.
“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?”
“Siapa
itu?”
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata:
“Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia
sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan
soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan
dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa
mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh
paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna
menentukan hari perkawinan.
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan
diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa
yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan
bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan
begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah
dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu
sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari
kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa
ia masih kecil.
Download Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" oleh Muhammad Husain Haekal
Apa saja isi Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" ini? Cek dulu Daftar Isinya disiniCatatan Kaki
3 Al-Mu’allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh penyair: Imr’l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, ‘Antara, ‘Amr ibn Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu’allaqat berarti ‘yang digantungkan’ yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas (almudhahhab) di atas kain lina (A).
4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).