Dari Pembatalan Piagam Sampai Kepada Isra’ | Muhammad Husain Haekal - Buku Sejarah Hidup Muhammad Karya Muhammad Husain Haekal mengisahkan tentang Pembatalan Piagam Sampai Kepada Isra’ pada bagian kedelapan buku ini.
Lebih lanjut, pembahasan yang dimulai dari pembatalan piagam hingga peristiwa isra mi'raj berikut topik yang terkait:
- Muslimin lari dari Mekah ke celah-celah gunung
- Tidak bergaul dengan orang kecuali dalam bulan-bulan suci
- Zuhair dan kawan-kawannya membatalkan piagam
- Abu Talib dan Khadijah wafat
- Gangguan Quraisy kepada Muhammad
- Kepergian Muhammad ke Ta’if dan penolakan Thaqif
- Isra’ dan Mi’raj.
Dari Pembatalan Piagam Sampai Kepada Isra’
SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak Quraisy untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam penderitaan, sehingga untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa laparpun tidak ada.
Baik
kepada Muhammad atau kaum Muslimin tidak diberikan kesempatan bergaul dan
bercakap-cakap dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu
orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala permusuhan dihentikan -
tak ada pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas
dendam.
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab
itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti
siksa. Segala penderitaan yang dialami Muhammad demi dakwah itu justru telah
menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak.
Mereka yang telah mendengar
tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima ajakannya.
Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya
memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati
yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab
dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu
banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy - padahal mereka
masih sekeluarga: saudara, ipar. sepupu - banyak diantara mereka itu yang
merasakan betapa beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu.
Dan
sekiranya tidak ada dari penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin,
membawakan makanan ke celah-celah gunung1 tempat
mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam
ibn ‘Amr termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati kepada
Muslimin.
Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan
atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung itu, dilepaskannya
tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah
itu.
Merasa kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya
demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b. Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibu Zuhair
ini adalah Atika bint Abd’l-Muttalib (Banu Hasyim).
“Zuhair,” kata Hisyam
“Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau
ketahui, keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang,
berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka
itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abu’l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak
seperti mengajak kau, tentu akan kutolak.”
Keduanya kemudian sepakat akan
sama-sama membatalkan piagam itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan
juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua
orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im b. ‘Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari b.
Hisyam dan Zamia bin’l-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat
akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
Dengan tujuh
kali mengelilingi Ka’bah keesokannya pagi-pagi Zuhair b. Umayya berseru kepada
orang banyak: “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian
padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang! Demi Allah
saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”
Tetapi Abu
Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak:
“Bohong! Tidak akan kita
robek!”
Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abu’l-Bakhtari, Mut’im
dan ‘Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair.
Abu Jahl
segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan juga malam itu dan
orangpun sudah menyetujui. Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul
bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im
bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya sudah mulai dimakan rayap,
kecuali pada bagian pembukaannya yang berbunyi: “Atas namaMu ya
Allah...”
Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan
sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu dan kembali ke
Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy juga terbuka, sekalipun hubungan
antara keduanya seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu
kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi dalam hal
ini berpendapat, bahwa diantara mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu
terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk menghindarkan timbulnya
bencana, mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan supaya ia mau saling
mengulurkan tangan dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada
dewa-dewa mereka sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya saja dikelilingkan.
Agak cenderung juga hatinya atas usul itu, sebagai pengharapan atas kebaikan
hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa kalau saya lakukan itu.
Allah mengetahui bahwa saya tetap taat.”
Atau karena mereka yang telah
menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan
pertemuan dengan Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat
menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas mereka, mengajaknya
kompromi, seraya kata mereka:
“Tuan adalah pemimpin kami
...”
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir
saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Ini adalah dua
sumber hadis, yang pertama sebagian diceritakan oleh Sa’id b. Jubair, sedang
yang kedua oleh Qatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari
kesalahan, dengan firmanNya:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu
menggoda kau tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas
nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil engkau
menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau
hampir cenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami
timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya
engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami.”
(Qur’an, 17: 73-75)
Ayat-ayat ini turun - menurut dugaan mereka yang membawa cerita gharaniq - sehubungan dengan cerita bohong itu seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam.
Sebaliknya menurut hadis ‘Ata,
lewat Ibn ‘Abbas, ayat-ayat ini turun sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang
datang meminta kepada Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon,
burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju-mundur sebelum
ayat-ayat tersebut turun.
Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap
peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut tidak
berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa Muhammad, di samping
kejujuran dan keikhlasannya dengan suatu lukisan yang sungguh kuat sekali.
Segi ini yang juga dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah “Abasa” (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad membuktikannya pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia, sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak karena mendapat perlindungan Tuhan.
Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling dari
Ibn Umm Maktum, dan hampir pula salah sehubungan dengan turunnya Surah “Isra”
(17), juga hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya
untuk dipalsukan dengan yang lain.
Apabila wahyu turun kepadanya memberi
peringatan atas perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu
itu kepada orang sama pula seperti ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada
sesuatu yang akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang
dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi
hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam
-risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi idea yang
diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan
orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan,
sekalipun oleh orang-orang besar sendiri.
Hal-hal semacam itu biasanya oleh
mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun
dengan susah payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih besar dari
orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan
kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala
kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang
menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah
Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan
pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya
dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang pada
bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad sudah
tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah
menjadi pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan
Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.
Beberapa bulan kemudian
sesudah penghapusan piagam itu, secara tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja
Muhammad mengalami dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni kematian Abu
Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib sudah berusia
delapanpuluh tahun lebih. Setelah Quraisy mengetahui ia dalam keadaan sakit yang
akan merupakan akhir hayatnya, mereka merasa kuatir apa yang akan terjadi nanti
antara mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah
dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera
mendatangi Abu Talib, untuk kemudian mengatakan:
“Abu Talib, seperti kau
ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau
ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan
kami dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling memberi dan saling
menerima. Dia angkat tangan dari kami, kamipun akan demikian. Biarlah kami
dengan agama kami dan dia dengan agamanya sendiri pula.”
Muhammad datang
tatkala mereka masih berada di tempat pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud
kedatangan mereka, iapun berkata:
“Sepatah kata saja saya minta, yang
akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.”
“Ya, demi
bapamu,” jawab Abu Jahl. “Sepuluh kata sekalipun silakan!”
Kata Muhammad:
“Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan tinggalkan segala penyembahan yang
selain Allah.”
“Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu
Tuhan saja?” kata mereka.
Kemudian mereka berkata satu sama lain: “Orang
ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah
kalian!”
Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak
Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib,
disusul pula dengan kematian Khadijah, Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad,
Khadijah yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan
perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan kekuatan iman yang
ada padanya.
Khadijah, yang dulu menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya Muhammad melihat arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talibpun meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai terhadap segala tindakan musuh.
Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih
menusuk jiwa Muhammad ‘alaihissalam?! Yang pasti, dua peristiwa itu akan
meninggalkan luka parah dalam jiwa orang - yang bagaimanapun kuatnya - akan
menusukkan racun putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan
duka, akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir
lain diluar dua peristiwa yang sangat mengharukan itu.
Sesudah kehilangan
dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin keras
mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir
Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas kepalanya.
Tahukah orang apa yang dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. Ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuan.
Setitik air mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang
puteri adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu,
dan karena pilunya ia akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang
menyelinap kedalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik
leher dan hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad adalah
seorang ayah yang sungguh bijaksana dan penuh kasih kepada puteri-puterinya.
Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru
saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya karena malapetaka yang menimpa
ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia hanya menghadapkan hatinya kepada Allah
dengan penuh iman akan segala pertolonganNya.
“Jangan menangis anakku,”
katanya kepada puterinya yang sedang berlinang air mata itu. “Tuhan akan
melindungi ayahmu.”
Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib
orang-orang Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya.”
Sesudah
peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia merasa
tertekan sekali.
Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta’if,2 dengan tiada orang yang mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan suaka dari Thaqif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan merekapun akan dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali.
Kalaupun
sudah begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan kedatangannya
minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri.
Tetapi permintaannya itupun tidak didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang
pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.
Ia pergi lagi dari sana,
berlindung pada sebuah kebun kepunyaan ‘Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a.
Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan pohon
anggur.
Ketika itu keluarga Rabi’a sedang memperhatikannya dan melihat pula
kemalangan yang dideritanya. Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah
ke atas, ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat
mengharukan:
“Allahumma yang Allah, kepadaMu juga aku mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. O
Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan
Engkaulah Pelindungku.
Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku.
Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu
yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan
akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang
berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan
Engkau juga.”3
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang
dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama ‘Addas, diutus
kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di
atas buah-buahan itu Muhammad berkata: “Bismillah!” Lalu buah itu
dimakannya.
‘Addas memandangnya keheranan.
“Kata-kata ini tak pernah
diucapkan oleh penduduk negeri ini,” kata ‘Addas.
Lalu Muhammad
menanyakan negeri asal dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang
tersebut beragama Nasrani dari Nineveh, katanya:
“Dari negeri orang
baik-baik, Yunus anak Matta.”
“Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!”
tanya ‘Addas.
“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi,” jawab
Muhammad.
Saat itu ‘Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki
Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang
melihatnya. Sungguhpun begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan
mereka. Dan tatkala ‘Addas sudah kembali mereka berkata:
“’Addas, jangan
sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu, yang masih lebih baik daripada
agamanya.”
Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat
meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thaqif itu, meskipun mereka tetap
kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu sudah diketahui pula oleh Quraisy
sehingga gangguan mereka kepada Muhammad makin menjadi-jadi.
Tetapi hal ini
tidak mengurangi kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan diri, mengajak
mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah
Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
Namun sungguhpun
begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkannya, bahkan dibuntutinya ke mana ia
pergi. Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
Muhammad sendiri
tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab pada musim
ziarah di Mekah saja, bahkan ia mendatangi Banu Kinda4 ke
rumah-rumah mereka, mendatangi Banu Kalb,5 juga ke
rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan Banu ‘Amir bin
Sha’sha’a.7 Tapi tak seorangpun dari
mereka yang mau mendengarkan. Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang buruk
sekali. Sedang Banu ‘Amir menunjukkan ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat
kemenangan, maka sebagai penggantinya, segala persoalan nanti harus berada di
tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Tuhan,
merekapun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang
lain-lain.
Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi
terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti yang dilakukan oleh
Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu ‘Amir ini mempunyai ambisi ingin
memegang kekuasaan bila bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan.
Sebaliknya kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai
tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya yang sejuk dan buah
anggurnya yang manis-manis, juga kota ini merupakan pusat tempat penyembahan
Lat. Ke tempat itu orang berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thaqif ini
sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang. Permusuhan
mereka dengan Quraisypun akan timbul, yang sudah tentu akibatnya akan
mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya dengan
yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri yang disebabkan oleh
keadaan perekonomian setempat. Dalam menentang Islam itu, pengaruh ini lebih
besar terhadap mereka daripada pengaruh kepercayaan mereka dan kepercayaan
nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan berhala-berhala.
Makin besar
oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau menyendiri. Makin
gigih pihak Quraisy melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia
merasakan pedihnya.
Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula
berlalu. Terpikir olehnya akan beristeri, kalau-kalau isterinya itu kelak akan
dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam hatinya, seperti dilakukan
Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang
Islam yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu
sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena waktu itu ia
masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka yang sudah dilangsungkan
baru akad nikah, sedang perkawinan berlangsung dua tahun kemudian, ketika
usianya mencapai sembilan tahun.
Sementara itu ia kawin pula dengan
Sauda, seorang janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan
kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan dapat
menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian perkawinan dan semenda yang
dilakukan oleh Muhammad itu, nanti akan lebih jelas.
Pada masa itulah
Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara
sepupunya, Hindun puteri Abu Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani’.
Ketika itu Hindun mengatakan:
“Malam itu Rasulullah bermalam di rumah
saya. Selesai salat akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur. Pada waktu sebelum
fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadat pagi
bersama-sama kami, ia berkata: ‘Umm Hani’, saya sudah salat akhir malam bersama
kamu sekalian seperti yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke
Bait’l-Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang
siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.”
Kataku: “Rasulullah, janganlah
menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu
lagi!”
“Tapi harus saya ceritakan kepada mereka,” jawabnya.
Orang
yang mengatakan, bahwa Isra’ dan Mi’raj Muhammad ‘alaihissalam dengan ruh itu
berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan
oleh Aisyah:
“Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra’8 itu dengan ruhnya.” Juga Mu’awiya b. Abi Sufyan ketika ditanya
tentang isra’ Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari Tuhan. Di
samping semua itu orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang
Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia.” (Qur’an, 17:60)
Sebaliknya orang yang
berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’l-Maqdis itu dengan jasad,
landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra’ itu
ia berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya nanti. Sedang
mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping mereka itu ada lagi pendapat bahwa
isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat
ini di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang. Sekitar arti isra’ ini kami sendiri
sudah mempunyai pendapat yang ingin kami kemukakan juga. Kita belum mengetahui,
sudah adakah orang yang mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi,
sebelum pendapat ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan - perlu
sekali kita menyampaikan kisah isra, dan mi’raj ini seperti yang terdapat dalam
buku-buku sejarah hidup Nabi.
Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan
kisah ini yang disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut:
“Pada tengah malam yang sunyi dan hening,
burung-burung malampun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam diri,
gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad
terbangun oleh suara yang memanggilnya: “Hai orang yang sedang tidur,
bangunlah!” Dan bila ia bangun, dihadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril
dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan
rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan
emas. Dan dari sekelilingnya sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan.
Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap seperti
sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun
naik.
“Maka meluncurlah buraq itu seperti anak panah membubung di atas
pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah ke utara. Dalam
perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di
tempat Tuhan berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat
Isa dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
“Sementara itu
ada suara-suara misterius mencoba menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas
menjalankan risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan
hewan itu di mana saja dikehendakiNya.
“Seterusnya mereka sampai ke
Bait’l-Maqdis. Muhammad mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil
Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa. Kemudian dibawakan
tangga, yang lalu dipancangkan diatas batu Ya’qub. Dengan tangga itu Muhammad
cepat-cepat naik ke langit.
“Langit pertama terbuat dari perak murni
dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap langit
itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas
atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit
inilah Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula semua makhluk
memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan
Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat
itu ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua
matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaanNya, maka
yang berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang
mencatat nama-nama mereka yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku
besar. Ia melihat juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa orang,
Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai anasir api dan sedang duduk
di atas singgasana dari nyala api. Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar
luar biasa, separo dari api dan separo lagi dari salju, dikelilingi oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya menyebut-nyebut
nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan salju dengan api, telah menyatukan
semua hambaMu setia menurut ketentuan Mu.
“Langit ketujuh adalah tempat
orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini
seluruhnya. Ia mempunyai tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh ribu lidah, tiap lidah dapat berbicara dalam tujuh
puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan tujuhpuluh ribu dialek. Semua itu memuja
dan memuji serta mengkuduskan Tuhan.
“Sementara ia sedang merenungkan
makhluk-makhluk ajaib itu, tiba-tiba ia membubung lagi sampai di
Sidrat’l-Muntaha yang terletak di sebelah kanan ‘Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap matapun ia sudah menyeberangi
lautan-lautan yang begitu luas dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang,
lalu bagian yang gelap gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun perjalanan. Ia
melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan.
Dibalik itu terdapat tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak
bergerak dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
“Kemudian
terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha Tinggi. Terpesona sekali
ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia
melihatnya, seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
“Begitu
seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
“Kemudian lagi ia
sudah berada di hadapan ‘Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan
dengan persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan
lidah, di luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha Agung Tuhan
mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan yang sebelah lagi di bahunya.
Ketika itu Nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang,
damai, lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa
kenikmatan.
“Sesudah berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali. Begitu Muhammad kembali
turun dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata
kepadanya:
“Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat
melakukan salat limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku sudah punya
pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil sejauh yang dapat kulakukan.
Percayalah dan kembali kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang
itu.
“Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi menjadi
empatpuluh. Tetapi Musa menganggap itu masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya
lagi Nabi penggantinya itu berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir
dengan ketentuan yang lima kali.
“Sekarang Jibril membawa Nabi
mengunjungi surga yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka
yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Buraqpun
dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait’l-Maqdis ke Mekah naik hewan
bersayap.”
Demikian cerita Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj. Kitapun dapat melihat, apa
yang diceritakannya itu memang tersebar luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi,
sekalipun akan kita lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana-sini
dilebihi atau dikurangi.
Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam
melalui ucapan Nabi ‘alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit
pertama, ketika mengatakan: “Kemudian kulihat orang-orang bermoncong seperti
moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu
dilemparkan ke dalam mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: “Siapa
mereka itu, Jibril?”. “Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak
sah,” jawab Jibril. Kemudian kulihat orang-orang dengan perut yang belum pernah
kulihat dengan cara keluarga Fir’aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena
penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka diinjak-injak tak
dapat beranjak dari tempat mereka. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?”.
“Mereka itu tukang-tukang riba,” jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang, di
hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping ada daging yang buruk
dan busuk. Mereka makan daging yang buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang
gemuk dan baik. Aku bertanya: “Siapakah mereka itu, Jibril”? “Mereka orang-orang
yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan dan mencari wanita yang
diharamkan,” jawabnya. Kemudian aku melihat wanita-wanita yang digantungkan pada
buah dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita
yang memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga mereka ...” Kemudian aku
dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya merah.
Kutanya dia: “Kepunyaan siapa engkau?”-Aku tertarik sekali waktu kulihat. “Aku
kepunyaan Zaid ibn Haritha,” jawabnya. Maka Rasulullah s.a.w. lalu memberi
selamat kepada Zaid ibn Haritha.”
Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam
buku-buku sejarah hidup Nabi yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan
melihat bermacam-macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak setiap penulis
sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di mana benar ketelitian dan
penyelidikan yang mereka adakan dalam hal ini semua; mana yang boleh dijadikan
pegangan (askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih
(otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal orang-orang tasauf dan
sebangsanya.
Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan
atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula di sini tempatnya
untuk menyatakan apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah
mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’ dan mi’raj itu semuanya
dengan ruh - maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya pada
ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas pendapat-pendapat itu
orang menyatakan pendiriannya sendiri, yang akan berbeda pula satu dari yang
lain.
Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan
mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan
tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan
Rasul.
“Sungguh aku ini manusia seperti
kamu juga yang diberikan wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa,”
(Qur’an. 18: 110)
dan bahwa
satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur’an, dan
“Bahwasanya Allah tidak akan
mengampuni dosa orang yang mempersekutukanNya, tetapi Dia mengampuni segala dosa
selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendakiNya.” (Qur’an, 4:48)
Orang yang
berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang lain- ia akan bertanya, apa
sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita
kemukakan. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini
sebelum kita, atau belum.
Isra’ dan mi’raj ini dalam hidup kerohanian
Muhammad mempunyai arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih
besar dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit dikacau dan
dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu. Jiwa yang sungguh
kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah dipersatukan oleh kesatuan
wujud ini, yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak ada
sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat mengalangi intelek dan
jiwa Muhammad, yang akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi,
terbatas oleh kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan
menurut akal pikiran. Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani
Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu
disadarinya, sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi -sejak
dunia mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam perkembangan
kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan itu, dengan jalan kebaikan dan
keindahan dan kebenaran, dalam mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan,
kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga.
Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau tidak dengan suatu
kekuatan yang berada di atas kodrat manusia yang pernah
dikenalnya.
Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi
pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak pikirannya yang begitu
tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan
serta perjuangannya mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan
dan bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial memang
bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu terbentur pada
batas-batas ini; tenaga kita sudah tidak mampu mengatasinya.
Apabila kita
mau menyebutkan sebagai contoh -dengan sedikit perbedaan tentunya, sehubungan
dengan apa yang kita hadapi sekarang ini- cerita orang-orang buta yang ingin
mengetahui gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan berkata, bahwa
gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah
buntutnya; yang seorang lagi berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab
kebetulan yang dijumpainya adalah kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah itu
runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang dijumpainya adalah taringnya;
yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak
bergerak-gerak, sebab kebetulan yang dipegangnya adalah
belalainya.
Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang
terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk pertama kalinya.
Boleh juga kiranya kita mengambil perbandingan antara persepsi (kesadaran)
Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam
isra’dan mi’raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak sebelum Adam sampai
pada akhir hari kebangkitan dan yang akan menghilangkan pula kesudahan ruang
ini, ketika ia melihat dengan mata batin dari Sidrat’l Muntaha ke alam semesta
ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut -dengan persepsi
(kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangkap arti isra’-mi’raj itu. Tatkala
itu ia berhadapan dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang
hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti partikel-partikel
yang melekat pada tubuh itu dengan susunannya yang tidak terpengaruh karenanya.
Dari mana pula partikel-partikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan
jantungnya, pancaran jiwanya, pikirannya yang penuh dengan enersi yang tak kenal
batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia berhubungan dengan segala kehidupan
alam ini.
Isra’ dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan
mi’raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur, begitu indah dan
agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam arti kesatuan rohani
sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah suatu
pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke
Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian ini sudah mengandung
selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali
dalam arti kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus menuju kepada kesempurnaan.
Ilmu pengetahuan
pada masa kita sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula mi’raj
dengan ruh. Apabila tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang
benarpun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya dengan
tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi ketika ia
menemukan suatu arus listrik tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di
Venesia. Dengan suatu kekuatan gelombang ether arus listrik itu telah dapat
menerangi kota Sydney di Australia.
IImu pengetahuan zaman kita sekarang
ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan
dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang ether dengan radio,
telephotography (facsimile transmisi) dan teleprinter lainnya, suatu hal yang
tadinya masih dianggap suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih
tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu memperlihatkan yang
baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang
begitu tinggi seperti yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah
memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid’l-Haram ke al-Masjid’l-Aqsha,
yang disekelilingnya sudah diberi berkah guna memperlihatkan tanda-tanda
kebesaranNya, maka itupun oleh ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti
semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah
dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan kesatuan alam semesta
ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa Muhammad. Orang akan dapat memahami arti
semua ini apabila ia dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan
hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna
memahami kedudukannya yang sebenarnya dan kedudukan alam ini
seluruhnya.
Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua
pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra’ itu oleh Muhammad
disampaikan kepada mereka, merekapun lalu menanggapinya dari bentuk materi -
mungkin atau tidaknya isra’ itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan
kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya
sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah ini sudah jelas.
Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan
pergi dan sebulan pulang. Mana boleh jadi Muhammad hanya satu malam saja
pergi-pulang ke Mekah?!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu
kemudian berbalik murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi
Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan bahan
pembicaraan.
“Kalian berdusta,” kata Abu Bakr.
“Sungguh,” kata
mereka. “Dia di mesjid sedang bicara dengan orang banyak.”
“Dan kalaupun
itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakr lagi, “tentu dia bicara yang sebenarnya.
Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada
waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu
herankan.”
Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan
Bait’l-Maqdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.
Selesai Nabi
melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:
“Rasulullah, saya
percaya.”
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan
“AshShiddiq.”9
Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra’ itu dengan jasad
ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa mereka
menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga menanyakan tentang peristiwa
yang luar biasa itu. Mereka memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu
diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya di tengah jalan.
Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat, dialah yang menunjukkan. Pernah ia
minum dari sebuah kafilah lain dan sesudah minum lalu ditutupnya bejana itu.
Pihak Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun membenarkan apa yang
telah diceritakan Muhammad itu.
Saya kira, kalau dalam hal ini orang
bertanya kepada mereka yang berpendapat tentang isra’ dengan ruh itu, tentu
mereka tidak akan merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita sekarang ini
dapat mengetahui mungkinnya hypnotisma menceritakan hal-hal yang terjadi di
tempat-tempat yang jauh. Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan
rohani dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan kepadanya ia
dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup ini dari awal alam azali sampai
pada akhirnya yang abadi.
Download Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" oleh Muhammad Husain Haekal
Apa saja isi Ebook "Sejarah Hidup Muhammad" ini? Cek dulu Daftar Isinya disiniCatatan Kaki Dari Pembatalan Piagam Sampai Kepada Isra’
1 Biasanya tempat ini dinamai ‘Syi’b Abi Talib’ (A).
2 At-Ta’if sebuah kota dan
pusat musim panas dengan
ketinggian 1520 m, dari permukaan laut, lebih kurang
60 km timur laut Mekah (A).
3 Doa ini dikenal dengan nama “Doa Ta’if”
(A).
4
Sebuah Kabilah Arab dari bagian Selatan (A).
5 Kabilah Arab yang berdekatan dengah
Suria (A).
6 Kabilah Arab di dekat Irak (A).
7 Kabilah Arab
yang terpencar-pencar (A).
8 Asra, sura dan isra’, harfiah berarti
“perjalanan
malam hari” (LA). ‘Araja berarti naik atau memanjat.
Mi’raj
harfiah tangga (N) (A).
9 Yang tulus hati, yang sangat jujur (A).