Menguak Keabsahan Ayat-Ayat Setan dalam Hadits Kisah Gharaniq - Rasulullah Saw. adalah seorang junjungan agung bagi umat manusia. Rasulullah Saw. menjadi utusan Allah dalam menyampaikan risalah agama islam. Syariat yang diturunkan kepada beliau atau yang beliau sabdakan; lakukan; dan tetapkan, adalah sebuah pedoman hidup yang berlaku bagi seluruh kalangan manusia hingga akhir zaman, pedoman tersebut adalah Al Quran dan Sunnah (hadis). Dalam hal ini, ada suatu peristiwa yang menarik dalam beberapa ayat Al Quran dan melibatkan subjek Nabi Saw. Peristiwa tersebut yaitu Gharaniq.
Fenomena Gharaniq adalah suatu peristiwa/ kisah yang dialami Rasulullah Saw. ketika membaca Q.S. An-Najm pada ayat ke-19 hingga 20, yang artinya: “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Latta, Uzza dan Manah, yang ketiga (yang) kemudian (sebagai anak perempuan Allah)”. Kemudian setan menyelipkan kalimat Gharaniq yang berbunyi:
…”تلك الغرانيق العلى وأن شفاعتهن لترجى”
“Itulah (berhala-berhala) Gharaniq yang mulia dan syafaat mereka sungguh diharapkan”.
Setelah Nabi Saw. melanjutkan hingga akhir surat, beliau mengakhirinya dengan bersujud. Sontak semua kalangan (muslim/ kafir quraisy) yang ada pada tempat tersebut mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. Hal ini lantas menjadi buah bibir mereka (kaum kafir quraisy) dengan berkata, “Dia (Muhammad) tidak pernah menyebut sesembahan kita dengan baik-baik sebelum ini”. Adapun pada riwayat lain, “Sesungguhnya Muhammad telah kembali kepada agamanya semula, yaitu agama kaumnya”.
Hingga pada akhirnya, Allah menurunkan Q.S. al Hajj (52) untuk meluruskan kisah ini, yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Perdebatan di kalangan Ulama Tentang Hadits Kisah Gharaniq
Banyak pernyataan yang dilontarkan banyak ulama (ahli hadis, ahli kalam, fuqaha’, mufassir) dalam menyikapi kisah ini. Ibn Hajar al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya Fath al Baari Syarh al Bukhari memberikan indikasi pembenaran terhadap hadis ini. Beliau berpendapat bahwa cerita ini mempunyai dasar dan ada jalan (sanad hadis) terhadap tersebut. Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H) pun “terkecoh” mencantumkan kisah ini dalam kitab Sirah-nya. Selain itu, Salman Rusydi menjadikan kisah ini sebagai dasar untuknya membuat novel yang bertajuk “Ayat-Ayat Setan”.
Berangkat dari kisah ini, masif pula ulama yang menolak keberadaan kisah ini dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut adalah buatan kaum zindiq dan merupakan hal yang bathil dan merusak agama islam. Terhitung seperti al Bazzar (w. 292 H), at Thabari (w. 310 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), al Baihaqi (w. 458 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H), Ibn Katsir (w. 774 H), Muhammad al Ghazali (w. 1416 H), hingga Yusur Qardlawi menolak hadis yang menceritakan tentang kisah Gharaniq. Kebanyakan dari mereka mempermasalahkan sanad yang lemah, mursal bahkan maudlu’, yangmana muara natijah-nya adalah sebuah hal yang tidak bisa diterima (karena bathil dan tidak masuk akal).
Dalam Tafsir Ibn Katsir, sekiranya diterangkan beberapa sanad yang dipakai para ulama untuk menyikapi kisah ini, beberapa diantaranya yakni: Pertama, Menurut Ibn Abi Hatim (w. 327 H) dan at Thabari hadis tersebut berasal dari Ibn Jubair (sebagai periwayat pertama) namun dengan sanad berbeda. Kedua, Ibn Abi Hatim dan at Thabari pun juga meriwayatkan secara mursal dari masing-masing sanad yaitu Abul Aliyah dari as Saddi (Ibn Abi Hatim) dan Muhammad bin Ka’ab al Qurazi serta Ibn Qais (at Thabari). Ketiga, al Bazzar meriwayatkan dari jalur Ibn Abbas. Keempat, al Baihaqi dalam kitabnya Dalailun Nubuwwah meriwayatkan hadis ini secara munqati’ yang terputus pada Musa bin Uqbah. Kelima, Ibn Ishaq (w. 151 H) mengutarakan dalam Sirah-nya bahwa turut menyebut kisah ini dengan konteks yang serupa, namun semuanya berstatus munqati’/ mursal.
Muhammad al Ghazali dalam kitab al Sunnah an Nabawiyyah menyikapi peristiwa ini dengan sebuah pernyataan bahwa adanya Loss Contact atau tidak adanya saling sapa antara ulama ahli hadis dan ulama ahli di bidang yang lain. Hal ini mengingat muatan hadis yang berkenaan dengan akidah, ibadah, muamalah memerlukan pengetahuan yang kompleks dari berbagai ahli. Dalam konteks kali ini, ‘ulum al hadis mengurai hanya dalam aspek kritik sanad dan matan, yang apabila didalamnya terdapat syadz (janggal) dan Illat (cacat) atau tidak.
Aspek kritik matan dirasa penting dalam menanggapinya, karena kisah ini bertentangan dengan dalil naql (mukhtalif) maupun penalaran (musykil). Fenomena Gharaniq ini bertolakbelakang dengan Q.S. an Najm (3); Q.S. al Isra’ (74); dan al Haqqah (44-46). Nasiruddin al Albani (w. 1420 H) secara khusus menjelaskan dalil ilmiah peristiwa ini dalam kitabnya Nashb al Majaaniq li Nasf Qishah al Gharaniq.
Selain itu, apabila ada indikasi kisah ini benar, maka akan muncul permasalahan besar, yakni hipotesa bahwa syariat islam yang lain pun juga bisa ternoda oleh selipan-selipan setan kepada Nabi SAW. Padahal, dalam Q.S. al Hijr (9) Allah telah jelas-jelas yang akan memelihara al Quran. Selain itu, dalam hadis riwayat Bukhari no. 6479 bahwa apabila seseorang bermimpi menemui Nabi SAW., maka itu adalah benar-benar beliau, karena setan tidak bisa menyerupai beliau. Hal ini menandakan bahwa Nabi SAW. benar-benar terjaga dari godaan setan.
Kisah ini juga bertentangan dengan fakta misi kenabian yang menggemakan tauhid. Jadi Nabi SAW. dianggap mustahil apabila condong terhadap pemujaan berhala. Bahkan beliau pernah memerintah beberapa sahabat untuk menghancurkan berhala. Diantaranya, Khalid bin Walid diutus untuk menghancurkan berhala ‘Uzza di Nakhlah, yangmana berhala tersebut berada dalam sebuah Tawagit (tempat peribadatan kaum kafir quraisy yang konon katanya setara dengan derajat ka’bah). Abu Sufyan bin Harb (ada yang menyebutkan Ali bin Abi Thalib) pun pernah diperintah Nabi SAW. untuk menghancurkan berhala Manna di wilayah Qadid. Dan Nabi SAW. pun turut memerintahkan Mughirah bin Syu’bah dan Abu Sufyan bin Sakhr untuk menghancurkan berhala Latta di Thaif, sekaligus menggantinya dengan masjid.
Pendapat yang Terindikasi Maqbul Tentang Hadits Kisah Gharaniq
Menyikapi perbedaan pandangan dari banyak ulama mengenai kisah ini, Ibn Katsir dalam tafsirnya menyadur argumentasi al Baghawi (w. 516 H) yang telah mengumpulkan berbagai pernyataan Ibn Abbas dan Muhammad bin Ka’ab al Qurazi dengan lafadz konteks kisah ini. Lantas al Baghawi mengajukan tanya, “Mengapa hal seperti ini terjadi?, padahal Rasulullah SAW telah dijamin oleh Allah terpelihara dari segala kesalahan?”. Selanjutnya, al Baghawi memilah banyak pendapat dan menyimpulkan pendapat terbaik. Kesimpulan yang ditarik oleh beliau adalah setan telah membisikkan kalimat Gharaniq tersebut ke dalam pendengaran kaum musyrik, sehingga mereka menduga bahwa kalimat-kalimat tersebut bersumber dari Nabi SAW. padahal tidaklah demikian. Ini melainkan ulah dari setan.
Selain itu, Shafiyurrahman al Mubarakfuri (w. 1427 H) berpendapat lain. Ia menyatakan bahwa kalimat itu hanyalah karangan kaum musyrik yang terlena dengan keindahan kalam Al Quran, sehingga mereka pun turut mengikuti sujud Nabi SAW. Kabar tersebut dikecam oleh kolega mereka yang saat itu tidak hadir di sana. Sehingga mereka pun merasa malu dan akhirnya membalikkan fakta dengan mengeluarkan pernyataan Gharaniq tersebut.
Alasan tersebut dapat dinyatakan demikian, apabila memang terjadi indikasi/ anggapan bahwa hadis yang menceritakan tentang kisah Gharaniq tersebut benar adanya. Kalaupun memang absah akan ke-valid-an kisah tersebut, maka kesimpulan yang paling tepat adalah argumentasi yang diutarakan masing-masing oleh al Baghawi dan al Mubarakfuri (dengan dasar tidak bertentangan dengan dalil naql maupun ‘aql), bukan argumen yang menyatakan bahwa setan berhasil menyelipkan kalimat Gharaniq tersebut ke lisan Nabi SAW.
Wallahu a’lam bi as showaab
Sumber: BincangSyariah