- Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang pertama
- Nabi berangkat sendiri
- pendapat ahli-ahli sejarah tentang ekspedisi pertama
- Pendapat kami tentang satuan-satuan (saraya) ini
- Menyudutkan perdagangan Quraisy
- Anshar dan perang agresi
- Watak penduduk Medinah
- Menakut-nakuti Yahudi
- Islam dan perang
- Intrik-intrik Yahudi
- Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen
- Islam agama kodrat.
Satuan-Satuan1 Dan Bentrokan-Bentrokan Pertama
Buku Muhammad Husain Haekal
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah
sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin
bertambah adanya.
Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka
tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi
sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak
penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka - dan terutama Muhammad -
telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai
membuka permusuhan dan akan mengadakan perang.
Bahkan ada yang berpendapat,
bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir
oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan
itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta
mengatur segala keperluan hidup mereka.
Sebagian mereka mengemukakan alasan ini
ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk
memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya
menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak
Quraisy segera menyadari akibat perjanjian ‘Aqaba itu. Dalam ketakutan itu
mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.
Mereka memperkuat
pendapat ini dengan apa yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para
Muhajirin tinggal di Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah
b. Abd’l-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di sekitar ‘Ish dengan membawa 30
orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar.
Di
tempat ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
dari penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi
lalu dilerai oleh Majdi b. ‘Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah
pihak. Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran.
Juga ketika Muhammad mengirimkan ‘Ubaida bin’l-Harith dengan 60 orang pasukan
terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat
air di Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Disini mereka bertemu dengan kelompok
Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa
Said b. Abi Waqqash ketika itu telah melepaskan anak panahnya, “dan itu adalah
anak panah pertama dilepaskan dalam Islam.”
Demikianlah ketika Said bin Abi
Waqqash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu
sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena
tidak bertemu siapa-siapa.
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan
menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan tinggal
di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. ‘Ubada. Ia pergi ke
Abwa’,. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra;
tetapi Quraisy tidak dijumpainya.
Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari
Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin
o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang
pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil
haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga
bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia berangkat lagi memimpin
kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di ‘Usyaira di
pedalaman Yanbu’. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu
kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat.
Tetapi ternyata mereka
sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian
perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra; dan bahwa
begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah,
tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang
Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing.
Nabi
pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha.
Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di
daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.
Inilah yang disebut oleh
penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr
Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat dijadikan bukti, bahwa
kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad - memang sudah memikirkan akan membalas
dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan permusuhan dan melakukan perang?
Setidak-tidaknya - menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan,
bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu
tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang
dibawa pergi atau barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh
kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy dalam
perjalannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian perdamaian
serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan Medinah-Pantai Laut
Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat melindungi
mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga kabilah-kabilah
tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum Muslimin - selaku
pihak yang berkuasa dan kuat -bertindak terhadap orang-orang dan harta-benda
mereka itu. Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan
masing-masing kepada Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d b. Abi Waqqash,
demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra,
Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula sebagian tujuan kaum
Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai
enam bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti oleh pihak
Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan menyerbu kafilah-kafilah
mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan
Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan ‘Ubaida tidak lebih
dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa’d yang menurut suatu sumber 8 orang, dan
menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal
kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya.
Sejak Muhammad
tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah
setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak Quraisy makin
memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah, ‘Ubaida ataupun
Sa’d, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi semangat untuk
melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup dengan menakut-nakuti
Quraisy saja, tanpa mengadakan perang; kecuali apa yang dilakukan orang tentang
anak panah, yang pernah dilepaskan Sa’d itu.
Disamping itu
kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan
darah dan pertalian kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak
mudah bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas
dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu
perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai
kerasulan Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang
pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya.
Orang-orang Islam itu sudah
mengetahui bahwa Ikrar ‘Aqaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak
Aus dan Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah
memberikan janji kepadanya atau kepada siapapun dari sahabat-sahabatnya bahwa
mereka akan melakukan tindakan permusuhan (agresi).
Sungguhpun sudah
begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli
sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua
abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan
perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak
melakukan perang.
Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran
yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada
periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan
kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip
persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak
guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna
menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menurut hemat
saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak
Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya
saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang
telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan.
Pengertian
ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan
dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan
dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan
mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang
dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian
Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dan 50.000 dinar.
Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000
dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah
pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri
sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya
berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu
saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan
adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan
melakukan tawaf di Ka’bah.
Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada
kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak
negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalu-lintas
perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan
Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan
dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai oleh Majdi
b. ‘Amr.
Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute
perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan
bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian.
Juga ini pula
yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi - setelah melihat kecongkakan
Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin - ingin mengadakan
perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu
serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga
kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan
perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Pendapat ini kuat
sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan ‘Usyaira
itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya.
Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan
serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr,
tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga
disetujui oleh orang-orang Medinah.
Apabila pihak Anshar memang tidak melihat
adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan
perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut
memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan
oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada.
Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna
memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu
merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan
suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat
yang mengatakan bahwa keberangkatan satuan-satuan Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith
dan Sa’d bin Abi Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai
suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa
kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat dan ‘Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan,
adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh
keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi.
Penulis-penulis riwayat hidup
Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan
bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua
Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan
yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr.
Segala bentrokan-bentrokan yang
terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap
sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin
masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang memang sudah
mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak mereka sebutkan dalam
buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga mereka sudah mengetahui
hal ini - disamping usaha mereka menyesuaikan diri dengan ahli-ahli sejarah dari
kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan terutama Muhammad dalam menghadapi
pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah - ialah karena mereka
sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya tidak lain
ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan merampok sudah
menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik
pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar janji mereka di
‘Aqaba.
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
seperti juga penduduk Mekah - bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari
menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari
hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka
tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang
luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak membebaskan
harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu mereka bukan
pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga bukan itu pula
yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi yang
mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang belum diundangkan dalam
Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan
ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis, melainkan apa yang
sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah jangan
sampai ada orang yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya ada kebebasan
berdakwah sebagaimana mestinya.
Nanti penjelasan dan pembuktiannya akan kita
lihat juga. Di situ akan tampak lebih jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad
dengan perjanjian-perjanjian itu ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan
ada jalan bagi pihak Quraisy dalam mengejar kehendaknya itu, atau mencoba
melakukan kekerasan terhadap kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan
dulu ketika hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu
ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan
kebebasan berdakwah untuk agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi
kebencian. Agama hanyalah bagi Allah.
Dibalik satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang
dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang
Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa
ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak
merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan
persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara
dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan
panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi
dan berusaha hendak menjerumuskannya.
Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini
mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka
akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau
karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka
telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang
Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan
kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah
Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Kaum Muslimin sudah
mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan
itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah
dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara
paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
Dan akhirnya Nabi
a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan
bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat
sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan
fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan
meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya
mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap
fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke
akar-akarnya.
Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah
dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada
benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan
Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam
Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya
dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi
suatu kontak senjata.
Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat,
dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud
mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan - dari
satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke
arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh
dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya
memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti,
bahwa Islam menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap
siapa saja yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan
pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan
demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
“Dan janganlah kamu melakukan
pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan
pelanggaran.” (Qur an, 2: 190)
Apabila kepada
Muhajirin pada waktu itu dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah
ditahan oleh Quraisy ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang
mau diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah
pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
Bukti terhadap hal ini ialah
adanya ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy.
Dalam bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa
orang Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk
tidak dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan.
Ia menjalankan perintah itu.
Kawan-kawannyapun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka
surat itu, yang berbunyi: “Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu
sampai ke Nakhla (antara Mekah dan Ta’if) dan awasi keadaan mereka. Kemudian
beritahukan kepada kami.”
Disampaikannya hal ini kepada kawan-kawannya
dan bahwa dia tidak memaksa siapapun. Kemudian mereka semua berangkat meneruskan
perjalanan, kecuali Said b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan ‘Utba b. Ghazwan yang
ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy
mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya meneruskan
perjalanan sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan kafilah
Quraisy yang dipimpin oleh ‘Amr bin’l-Hadzrami dengan membawa barang-barang
dagangan.
Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan
rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta
harta-benda mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. “Kalau kita biarkan
mereka malam ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau
mereka kita gempur, berarti kita menyerang dalam bulan suci,2” kata
mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan maju. Tetapi kemudian
mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur, siapa saja yang mampu dan
mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah seorang anggota rombongan itu
melepaskan panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum
Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.
Sesampainya di Medinah Abdullah
b. Jahsy membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima
barang rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat
mereka ini ia berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan
suci.”
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya. Samasekali ia tidak mau
menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa kebingungan sekali.
Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Musliminpun sangat menyalahkan tindakan
mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang dipergunakan.
Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad dan kawan-kawannya
telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas harta-benda dan menawan
orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di Mekahpun lalu menjawab, bahwa
saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah ke Medinah melakukan itu dalam
bulan Sya’ban. Lalu datang orang-orang Yahudi turut mengobarkan api fitnah.
Ketika itulah datang firman Tuhan:
“Mereka bertanya kepadamu tentang
perang dalam bulan suci. Katakanlah: “Perang selama itu adalah soal
(pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan
mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari
sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dan
pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu, sampai mereka berhasil
memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup.” (Qur’an, 2: 217)
Dengan adanya
keterangan Qur’an dalam soal ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali.
Penyelesaian kafilah dan kedua orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang
kemudian oleh Quraisy akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:
“Kami
takkan menerima penebusan kamu, sebelum kedua sahabat kami kembali - yakni Sa’d
b. Abi Waqqash dan ‘Utba ibn Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu.
Kalau kamu bunuh mereka, kawan-kawanmu inipun akan kami bunuh.”
Setelah
Said dan ‘Utba kembali, Nabi mau menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah
seorang dari mereka, yaitu Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di
Medinah, sedang yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan
nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci yang
diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami, ini
adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan
peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu
kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral
dan spiritual.
Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai
kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang
perang dalam bulan suci: adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang
diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari itu.
Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih besar dari
perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang meninggalkan agamanya
dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah lebih besar daripada
membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan suci.
Orang-orang musyrik
dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin karena mereka melakukan perang
dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling dari
agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak Quraisy dan orang-orang musyrik itu
semua melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, menghalangi orang dari jalan Allah
dan mengingkariNya, apabila mereka ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci,
memperdayakan orang dari agamanya, maka jangan disalahkan orang yang menjadi
korban penindasan dan pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan
suci. Tetapi bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan ini, melakukan
perang dalam bulan suci memang suatu pelanggaran.
Fitnah itu lebih besar
dari pembunuhan. Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba
membujuk atau memfitnah orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia
harus berjuang demi Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan.
Di
sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara
keras-keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang
berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atau memaksa orang
masuk Islam dengan pedang.
Bukankah ini yang namanya fanatik? Sedang agama
Kristen tidak mengenal adanya peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah
menganjurkan toleransi, memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia,
untuk Tuhan dan untuk Jesus.
Sebenarnya saya
tidak ingin berdebat dengan mereka, kalau saya mengutip sebuah kalimat saja
dalam Injil: “Bukannya Aku datang membawa keamanan, melainkan pedang” dan
seterusnya juga tidak tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut.
BACA JUGA: Agama Negara Penjajah Indonesia
Umat
Islam mengakui agama Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Qur’an. Tetapi yang
terutama perlu saya sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan
agamanya menganjurkan perang dan memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Ini
adalah suatu kebohongan yang ditolak oleh Qur’an:
“Tak ada pemaksaan dalam agama.
Sudah jelas mana jalan yang benar, mana yang salah.” (Qur’an, 2: 256)
“Berjuanglah kamu untuk Allah
melawan mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran
(agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran .”
(Qur’an, 2: 190)
Dan masih
banyak ayat-ayat lain selain dari kedua ayat suci tersebut.
Dalam arti
yang sebenarnya, berjuang demi Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat
yang kita kutip tadi dan yang turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy,
yaitu memerangi mereka yang membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya
atau mengalanginya dari jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah
agama. Atau dengan kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan
senjata yang dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu.
Apabila ada
seseorang yang hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika
tanpa memaksanya dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau
penyiksaan dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya - maka sudah
tentu ia akan menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan
logikanya tadi.
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi orang dan
ideanya itu ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata itupun harus
dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia berbuat begitu.
Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu tersimpul hanya dalam
sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga - bagi orang yang
mengenal arti kemanusiaan - daripada harta, daripada kekayaan, kekuasaan dan
daripada hidupnya sendiri; hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan
hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh dan enersi.
Akidah
adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia, dan komunikasi
rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah memberikan kelebihan
kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang membuat dia mencintai
sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Ia mengutamakan orang yang hidup
sengsara, hidup miskin dan tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun
keluarganya itu sedang dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam
semesta supaya bekerja secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada
kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya
Apabila
akidah yang semacam ini yang ada pada manusia, lalu ada orang lain yang mau
membuat fitnah, mau menceraikannya, sedang dia tak dapat membela diri, ia harus
berbuat seperti dilakukan orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke
Medinah. Dideritanya segala perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya
segala penghinaan dan ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan
serba kekurangan yang bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya
berperang terus pada akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh
orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang
Kristen dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan akidah itu
bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia terpilih,
yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil
segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia meratakan
gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung supaya pindah dari
tempatnya, gunung itu akan pindah - seperti kata Injil juga.
Tetapi jika orang
menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat
menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang
dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini berarti,
akidahnya masih goyah, imannyapun masih lemah.
Inilah yang telah
dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah
mulai stabil. Dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah
kekuasaan mereka di Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati
maharaja-maharaja Rumawi itu mulai pula lunak terhadap agama
Kristen.
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi jiwa Kristen itu secara
mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya tidak bermaksud membahas
benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan kita sejarah Kristen adalah
saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur
pula.
Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh
penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh
Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib terjadi
karena dikobarkan oleh orang-orang Kristen, bukan oleh orang Islam.
Mengalirnya
pasukanpasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa menuju daerah-daerah Islam
di Timur, adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah. Dan
setiap kali, paus-paus sebagai pengganti Jesus, memberi berkah dan restu kepada
pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Bait’l-Maqdis
(Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya.
Adakah barangkali
paus-paus itu semua orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik)
ataukah kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu
pembual-pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak
menjauhkan diri dari perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan,
abad kegelapan; janganlah agama Kristen juga yang diprotes.
Kalau itu juga yang
kadang mereka katakan, maka abad keduapuluh ini, masa kita hidup sekarang
inipun, yang biasa disebut abad kemajuan dan humanisma - toh dunia juga telah
mengalami nasib seperti yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu.
Sebagai wakil Sekutu - Inggeris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika Lord
Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu
didudukinya dalam tahun 1918: “Sekarang Perang Salib sudah
selesai.”
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci
yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan
insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengan
unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang
suci, yang jiwanya sudah begitu luhur.
Mereka mengadakan komunikasi dalam arti
persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang
sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu - baik
dari kalangan Kristen atau Islam - kalaupun mereka sudah mencerminkan cita-cita
yang luhur, namun mereka tidak menterjemahkan kehidupan insani dalam
perkembangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai
kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu
pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kita pahami
seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil
risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Dan kini sudah lampau
masa seribu tiga ratus limapuluh tujuh tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke
Yathrib itu. Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat
juga berlumba-lumba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal.
Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan
arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai
perang, waktu bangsa-bangsa sedang mengalami kehancuran.
Atau ini hanya
serangkaian propaganda yang dilontarkan ketengah-tengah kehidupan oleh
orang-orang yang sampai sekarang belum mampu - dan siapa tahu barangkali takkan
pernah mampu - mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya,
perdamaian dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian
bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada
kehancuran.
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang
terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama
kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan
masyarakat, dikodratkan.
Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran,
kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga,
maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu
menempatkannya kedalam batas-batas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara
yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan
kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan
kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang paling baik ialah
hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela diri, membela
keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha kearah itu. Hendaknya rasa harga
diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.
Inilah yang
sudah. menjadi ketentuan Islam seperti yang sudah kita lihat dan yang akan kita
lihat nanti. Ini pulalah yang digariskan oleh Qur’an seperti yang sudah dan yang
akan kita kemukakan kepada pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta
hubungannya maka Qur’an itu diturunkan.
Sejarah Hidup Muhammad | Husain Haekal
854KB Google Drive
Catatan Kaki
1 sariya suatu pasukan
pilihan dalam satuan tentara, paling banyak 400 orang.
2 Harfiah, asy-syahr’l-haram, bulan terlarang, bulan suci, yakni dilarang
mengadakan peperangan menurut adat Arab, yang berlaku selama bulan-bulan
Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, juga dalam bulan Rajab (A).